Aku bermimpi. Ah. Tidak. Ini bukan mimpi. Aku tahu yang terjadi semalam
bukanlah mimpi. Beberapa saat yang lalu kau masih tersenyum. Saat itu
belum hujan. Belum ada tangisan. Kau masih tertawa untukku. Kau masih
berkata kangen. Kau masih berucap rindu yang tiada terputus. Dan kau
tidak berhenti mengucapkan cinta. Namun secepat cahaya berpindah, pun
hatimu. Pun dirimu. Detik bergulir sejak saat itu hingga kau memutuskan
mimpi buruk itu. Mungkin bukan kau yang memutuskan. Mungkin ini
keputusan Yang Di Atas. Aku tidak percaya kebetulan. Aku tahu segala
sesuatu diaturNya dalam waktuNya. Hanya Dia yang tahu.
Aku hanya
bisa menangis. Terlalu jujur. Namun ini aku. Ini kelemahanku. Kamu.
Kamu kelemahanku. Kamu yang mampu menepis ketegaranku hingga titik batas
kekuatanku. Hingga aku jatuh dan hanya bertemankan bulir air mata. Aku
tertidur. Lelap tidak lelap. Tidur sambil menangis. Menyesali. Namun
tidak bisa memutar waktu.
Pukul tiga dini hari. Saat para setan
sedang berkeliaran menawarkan hati para manusia, begitu kata mereka. Aku
terbangun oleh suara. Seperti sesuatu yang dari langit. Air. Air yang
bertriliyun jumlahnya dijatuhkan langit padaku. Apa maksudnya? Agar aku
terbangun? Agar aku menangis lagi? Sudah cukup. Aku sudah menangis
semalam. Apa aku harus melanjutkannya? Menyesali. Namun tidak bisa
memutar waktu.
Aku berharap ini mimpi. Namun aku tahu ini bukan
mimpi. Dini hari yang hujan. Bagaikan firasat atas tangisan. Aku rindu.
Kau selalu bilang kau mencintai hujan. Kau suka bau tanah. Kau suka
mendengar suara hujan. Namun hujan ini berbeda. Hujan yang menangis.
Bukan hujan yang kau cintai. Hujan mengingatkanku akan sakit. Aku yang
tertinggal. Namun hatiku pun masih tertinggal. Entah dimana, kau pun
tahu, tak perlu kusebutkan.
Aku bersimpuh. Di tengah ketenangan malam yang menuju pagi. Kembali berderai air
mata. Aku menyerahkan kembali kepadaNya. Aku milikMu. Dia milikMu. Bukan
hakku atas dia. HakMu lah sepenuhnya. Aku tidak boleh sakit hati. Tidak
boleh menyalahkan siapa pun. Aku harus ikhlas.
Kulantunkan
bait-bait doa dengan linangan air mata dan kepasrahan diri. Aku tidak
pernah menginginkan kepergianmu. Namun jika itu yang terbaik, aku harus
ikhlas. Jika kau lebih bahagia, aku rela. Mungkin bahagiaku bukan
denganmu.
Doa ku akhiri.
Biarlah kehendakMu yang jadi, bukan kehendakku. Amin.