d sWeetY cHubBy

d sWeetY cHubBy

welcome 2 my bloG....

This blog is my mirror..
It represents my purpose and my passion,
I juz need to share all of my experience, what in my mind, all i want, all I need, and everything about me..
May be it can be my diary,
also my thankful book,
my reminder and my heart alarm,
and many more.


so juZ read it and teLL me what do you thinK about me..............

^-^

Sunday, January 8, 2012

Aku dan Sang Hujan

Aku kembali terpaku. Duduk termenung di pinggir jendela kamarku. Memandang jauh inginku. Namun terhalang oleh titik-titik air yang turun deras dari langit. Hanya gerimis kecil namun deras. Mengaburkan pandanganku. Hujan untuk kedua kalinya pada hari Minggu ini. Hujan untuk kesekian kalinya pada bulan ini. Mungkin akan menjadi hujan badai lagi yang menghancurkan pepohonan dan papan-papan reklame yang akhir-akhir ini sering terjadi. Namun aku masih terdiam. Memandang hujan. Memandang air. Mulai berbicara kepada Sang Hujan. Merayu Sang Hujan. Mengajaknya bercerita.



Aku terus berbincang dengan Sang Hujan. Dalam bahasaku sendiri yang tidak dimengerti oleh manusia mana pun. Ibarat pencarian jodoh, hanya Tuhan dan aku sendiri yang tahu, serta tentu saja Sang Hujan itu sendiri.

Kami membicarakan tentang Awan. Aku tak tahu persis apakah aku pernah bertatap muka dengan Sang Awan. Aku tidak pernah dapat menyentuh Awan. Hanya melihatnya dari bumi. Bagaikan gumpalan kapas putih yang mengotori langit biru yang birunya mengalahkan biru Sang Laut. Dan bisa menjadijahat sudah sudah menjadi hitam memekat seolah siap memangsa bumi seisinya yang ada di bawahnya. Terkadang merasakannya sebagai sesuatu yang tidak mengenakkan ketika sedang berada dalam suatu perjalanan udara. Sang hujan pun bercerita. Dia menumpahkan kekesalannya terhadap awan. Awan yang kukira sangat dekat dengan Hujan dan kurasa sudah begitu intim dengannya ternyata tidaklah demikian. Hujan bahkan tidak pernah bertemu dengan Awan. Ketika Hujan datang, Awan sudah menghilang. Hujan ingin menunggu sejenak untuk bertemu dengan Awan namun Sang Pencipta sudah memerintahkannya untuk turun ke bumi. Sejak dahulu kala Hujan selalu gagal bertemu dengan Awan. Ternyata serumit itu hubungan antara Awan dan Hujan. Mereka begitu dekat, hampir tak terpisahkan namun tak pernah bertemu. Tak pernah bertatap muka atau bahkan berjabat tangan.

Hujan terus bercerita. Dia telah mengelilingi seluruh dunia. Seluruh bagian bumi ini yang bahkan tidak pernah tersentuh oleh manusia. Hujan mengenal setiap makhluk hidup di muka bumi ini, walau mungkin tidak sebaik Penciptanya. Namun paling tidak dia mengenal sebagian besar di antara mereka. Sebagian lagi, mungkin lupa. Begitu katanya sambil tertawa kecil. Bertemu dengan berbagai jenis manusia dari segala bangsa dengan berbagai sifat mereka. Ada sebagian yang mencintai Hujan, seperti aku. Ada sebagian pula yang mulutnya dipenuhi umpatan ketika Hujan datang. Hujan sudah terbiasa dengan semua itu. Adalah hal yang mustahil menginginkan semua manusia menyukainya. Aku langsung berpikir. Sama seperti aku. Tidak semua manusia menyukaiku. Sebagian mengagung-agungkanku dan sebagian lagi mencela tiada ampun.

Kita memiliki kesamaan, Hujan. Aku suka.

Tiba-tiba aku ingin bertanya. Wahai Hujan, mengapakah engkau begitu kejam? Engkau datang dengan sangat cepat dan debit sangat besar. Engkau menyebabkan sesuatu yang kami sebut Banjir. Apakah Banjir itu termasuk dalam komunitasmu? Atau sahabat dekatmu? Hujan, tak tahukah kau bahwa kami sering kesusahan akibat hal tersebut? Kesulitan transportasi, merusak infrastruktur, bahkan kehilangan nyawa orang yang kami kasihi. Di lain waktu tak jarang engkau turun ke bumi dengan mengajak sahabatmu Sang Bayu. Kami sering memanggil kalian dengan Sang Badai. Ketika kalian datang, maka kalian menyusahkan kami. Menghancurkan pepohonan, tiang-tiang dan bahkan tempat tinggal kami. Apa salah kami, Hujan? Mengapa kau lakukan ini?

Hujan tersentak kaget mendengar keluh kesahku. Namun dia segera kembali tenang. Tersenyum manis sama seperti saat pertama menyapaku.

Hujan berkata, “Aku tidak pernah bermaksud jahat pada kalian. Aku mencintai kalian. Aku adalah bagian dari kalian. Tak mungkin aku berusaha mencelakai kalian. Kau tahu bahwa hidupku sudah diatur dalam sebuah lingkaran yang abadi?”

Aku mengangguk. Aku tahu, Hujan. Aku tahu kau berasal dari bumi pun.

Hujan melanjutkan ceritanya, “Segala yang berbentuk cair yang ada di bumi, entah itu sungai,laut, danau dan perairan lainnya mengubah wujudnya menjadi udara-udara yang siap mengitari langit. Inilah Sang Awan. Sahabat dekatku yang bahkan tak pernah kujumpai wajahnya. Ketika sudah tiba saatnya aku turun. Seperti saat ini hingga aku dapat bertemu dan bercakap-cakap denganmu. Aku kembali ke asalku. Namun tidak selalu melewati jalan yang sama. Itulah mengapa kukatakan bahwa aku sudah mencapai seluruh titik yang ada di bumi ini. Hampir tidak pernah aku melewati jalan yang sama. Prinsipku hanya satu. Dari tempat tinggi menuju ke tempat yang rendah. Aku percaya aku akan kembali lagi ke tempatku yang semula. Selamanya aku tidak akan pernah hilang. Aku hanya butuh waktu untuk mengakhiri perjalananku.“

Sejenak Sang Hujan menghela nafas. Lalu dia kembali berkata-kata.

“Namun waktu adalah sesuatu yang paling ajaib. Dia selalu berubah. Dahulu aku dengan cepat dapat mengelilingi bumi dan mencapai tempat asalku kembali. Namun saat ini semua berubah berbanding lurus dengan waktu yang semakin menua. Aku butuh waktu yang lebih lama lagi untuk megelilingi bumi ini. Jalan yang biasa kulewati tidaklah lagi sama. Masa telah mengubahnya. Bukan, mungkin bukan masa, akan tetapi massa. Massa manusia. Manusia. Teman-temanmu telah mengubah jalan pulangku. Aku butuh waktu yang lama karena hampir setiap kali aku ingin pulang aku harus mencari jalan yang baru. Jalan yang lama sudah ditutup.”

Sang Hujan mulai terisak. Menangis. Aku sedih mendengarnya. Mulutku masih terkunci. Aku belum berani mengatakan apa pun.

“Ini bukan hanya keluhanku. Namun keluhan kami. Kami, Para Hujan, tidak pernah ingin mengganggu kalian. Kami ingin selalu bersahabat dengan kalian. Kami ingin hidup harmonis di bumi ini. Karena dari bumi inilah kami berasal dan ke bumi ini pula lah kami akan kembali. Banjir bukanlah teman kami. Kami pun tidak pernah menginginkan kehadirannya. Namun kalian memaksa kami. Ketika jalan pulang kami ditutup, banyak di antara kami yang tersesat. Hingga berdasarkan insting kami, kami berkumpul di suatu titik untuk berunding menemukan jalan kembali. Pada saat itulah Sang Banjir datang. Datang dengan tidak diundang.”

Sang Hujan sudah tidak lagi terisak. Aku tak tega melihatnya.

“Sudah, Hujan. Jangan kau teruskan bila itu menyakitimu.”

“Tidak. Aku harus melanjutkannya. Agar tidak ada lagi yang berpikir bahwa aku menginginkan kehancuran kalian, para manusia penghuni bumi. Aku sendiri sedih melihat Banjir menghacurkan kalian. Memporakporandakan tempat tinggal. Menyebarkan virus dan bakteri kesakitan di tengah kepanikan. Aku sering tidak kuat melihat isak tangis anak-anak kecil yang tidak bisa berbuat apa-apa saat Banjir menjebak mereka. Manusia pun hanya bisa saling menyalahkan. Terkadang mereka menyalahkan lokasi yang secara geografis lebih tinggi sebagai penyebab datangnya banjir. Padahal kalau mereka mau berpikir secara jernih, bukan itu. Bukanlah itu penyebabnya. Namun mereka sendiri. Mereka menutup jalan kami. Jalan pulang kami menuju peraduan terindah kami, baik itu laut, sungai maupun danau kami. Mereka menutupnya dengan gedung-gedung tinggi pencakar langit. Menghalangi kami dengan kerasnya semen yang tentu saja tidak dapat kami tembus. Bahkan mereka tega mencemari kami dengan sampah-sampah yang semakin menghambat perjalanan pulang kami.”

Giliran aku yang tersentak. Tersadar. Benar apa yang dikatakan Sang Hujan. Manusia terlalu dalam mencampuri kehidupan Sang Hujan dengan menghambat perjalanannya.

“Hujan, maafkan aku. Maafkan teman-temanku. Kami memang manusia yang tidak tahu diri.”

“Aku hanya ingin kau tahu. Aku tidak pernah dengan sengaja ingin mengganggu kehidupan manusia. Aku punya jalanku, kehidupanku. Demikian pula kalian. Namun manusia terlebih dahulu memasuki kehidupanku. Aku tidak pernah dapat membenci kalian. Namun aku sedih ketika melihat kehancuran kalian akibat ulah kalian sendiri. Ketika Sang Bayu datang menggandengku pun aku tak pernah menyangka akan terjadi kekisruhan dengan tumbangnya pohon dan papan-papan tinggi. Namun sungguh itu di luar kuasa kami. Ketika kami disalahkan atas kekacauan di bumi ini, sungguh, itu bukan karena kami.”

“Iya, Hujan. Aku mengerti.”

Aku mengajaknya berjabat tangan.

“Aku harap dalam perjalananmu kali ini kau dapat menemukan jalan pulangmu dengan cepat.”

“Sungguh percakapan yang indah. Senang dapat bertemu denganmu sore ini. Semoga kita dapat bertemu lagi di lain waktu dan lain tempat.”

Aku melihat senyum Sang Hujan untuk yang terakhir sebelum dia memulai perjalanannya di bumi untuk mencapai tempat tinggal asalnya. Dan senyum Sang Hujan pun diteruskan oleh Sang Pelangi yang melengkungkan bibirnya dengan sungguh elok.

Aku mengambil handphone. Membaca status twitter teman-teman yang mengumpat menyalahkan hujan yang menyebabkan mereka terjebak kemacetan selama berjam-jam. Aku hanya menulis, “Don’t blame the rain for the traffic jam.” Setelah itu handphone ku berbunyi terus, banyak tanggapan masuk, dan tidak kupedulikan. Aku hanya tersenyum sambil memandang Sang Pelangi.

No comments:

Post a Comment