Aku mencintai ayah. Aku mencintai
bunda. Aku ingin selamanya bersama mereka. Selamanya tanpa batas waktu. Namun
kini ayahku telah renta. Bundaku pun menunjukkan ubannya. Hampir setiap hari
kulihat orang yang menangis di pusara setelah mereka memasang bendera kuning di
persimpangan jalan menuju kediaman mereka. Aku tidak mau. Aku bersumpah tidak
mau memasang bendera laknat itu di pohon rambutan yang ada di dekat rumahku.
Aku mendadak galau. Tanpa sadar
aku tertidur. Dalam bunga tidurku, aku bertemu kakek. Dia menyerahkan sebuah buku
catatan usang. Ada suatu rasa magis yang seolah mendorong tanganku membuka buku
itu halaman per halaman. Buku itu berjudul “WAKTU”. Di dalamnya berisikan
gambar jam penunjuk waktu. Aku bingung. Buku apa ini, tanyaku dalam hati. Hingga aku menemukan tulisan
tangan kakekku.
Ambrosia. Makanan dan minuman Para Dewa yang
akan memberi efek Amerta.
Amerta adalah keabadian.
Mataku bersinar membacanya. Ini
yang aku cari. Sesuatu yang mendatangkan keabadian. Ambrosia. Akan tetapi
dimana aku bisa mendapatkannya? Seperti apakah makanan atau minuman para Dewa
yang disebut Ambrosia itu?
Aku berusaha mencari petunjuknya
di buku usang kakekku. Namun tidak ada petunjuk yang berarti. Aku bertanya pada
kakek. Dimana ambrosia? Tunggulah, Nak. Jangan dicari.
Aku terbangun. Mimpi. Aku harus
mencari Ambrosia, begitu tekadku dalam hati. Apapun itu dan dimana pun itu. Aku
tidak boleh menunggu.
“Bunda, apakah Bunda tahu apa itu
ambrosia?”
Bunda tampak terkejut dengan
pertanyaanku dan langsung menggelengkan kepalanya pertanda tidak tahu, atau
tidak mau tahu.
“Ayah, ambrosia itu apa?”
“Mengapa kamu tiba-tiba
menanyakan itu?” ayah mengernyitkan keningnya.
“Jadi ayah tahu apa itu ambrosia?
Makanan dan minuman para dewa yang akan memberikan keabadian? Apakah ayah tahu
di mana aku bisa mendapatkannya?” kataku meledak-ledak.
“Nak, ambrosia itu cuma mitos. Itu
adalah mimpi yang diciptakan oleh kakekmu. Bahkan ayah tak yakin bahwa ambrosia
itu ada.”
Aku kecewa dengan jawaban ayahku.
Apakah ayahku tidak tahu bahwa aku ingin terus bersama dengannya. Dan
satu-satunya cara adalah dengan menemukan ambrosia.
Aku akan mencarinya. Tekadku
sudah bulat. Aku mulai berkeliling kota. Berkeliling negeri ini. Demi mencari
ambrosia. Sungguh tolol! Ternyata banyak orang yang tidak tahu apa itu
ambrosia. Padahal jika mereka tahu, ambrosia akan membawa mereka pada kehidupan
kekal mereka juga akan mencarinya seperti aku. Aku memutuskan untuk mencari
lebih jauh. Mulai dari Malaysia, Vietnam, Kamboja, Thailand, India, Cina,
bahkan Jepang. Berbekal visa liburan aku terus mencari ambrosia. Demi suatu
amerta bersama ayah dan bunda.
Sembilan bulan sudah pencarianku
akan ambrosia. Dan aku belum mendapatkan apa-apa. Aku pulang ke rumah dengan
tangan hampa. Hari itu perjalanan terakhirku dari Honolulu. Setelah transit di
Narita Airport, akhirnya aku tiba di bandara Soekarno Hatta. Aku pun tiba di
rumah saat langit tak lagi biru. Ayah bundaku yang tak mengerti aku pergi untuk
mencari ambrosia menyambutku dengan hangat. Usai makan malam bersama mereka aku
duduk di balkon rumahku. Kupandang langit.
Tuhan, jikalah boleh,
tunjukannlah dimana ambrosia. Aku ingin keabadian bersama orang yang kucintai.
Seketika aku berpikir, tampaklah bintang jatuh. Ah. Kata orang bintang jatuh
akan mengabulkan semua permintaan kita. Aku memejamkan mata. Bintang jatuh,
kumohon, berikanlah ambrosia agar aku, ayah dan bunda dapat terus bersama dalam
keabadian. Aku membuka mata dan tersenyum. Aku akan menunggu ambrosia.
Esoknya pintu rumahku diketuk.
Seseorang mengantar parcel. Aha. Ini adalah hari raya. Bunda segera membuka
parcel itu, menemukan wafer kesukaan kami. Segera menyobek bungkusnya. Kami
memakannya bersama-sama. Sambil bercanda. Hingga beberapa menit kemudian ada
rasa aneh. Diawali dengan beban berat di kepalaku, rasa mencekik di leher
hingga bintang berputar. Dan sejak saat itu aku tak tahu lagi apa yang terjadi.
Ada sesuatu yang meninggalkan ragaku. Begitu pun pada ayah dan bundaku.
Wafer itukah ambrosia yang selama ini kucari? Membawa kami pada keabadian?
Aku hilang rasa. Seketika.
Word count : 598
Cerita di atas hanya sekedar
fiksi belaka, ditulis dalam rangka meramaikan Kontes Flashfiction Ambrosia yang
diselenggarakan Dunia Pagi dan Lulabi Penghitam Langit.
wow
ReplyDeletesukses mba kontesnya :)