Ruangan
putih. Para manusia berjubah putih itu memanggilnya laboratorium. Laboratorium
yang berada di sebuah tempat terpencil dan dikelilingi puluhan pohon pisang.
Aku tidak tahu mengapa di tempat ini dibangun laboratorium dengan berbagai
peralatan canggih yang konon diimpor dari daerah yang sama dengan asalku.
Padahal jika kau tahu, di antara dinding dan bagian punggung peralatan itu
hiduplah gerombolan cerpelai yang merasa nyaman dengan suasana ruangan ini.
mungkin cerpelai pun rindu dengan modernisasi. Mereka selamanya memakan ular,
namun tidak selamanya mereka ingin hidup di antara semak belukar dan sawah yang
becek.
Aku
melihat dari balik lensa yang gelap berwarna kuning kecoklatan. Itulah lensa
yang harus selalu kukenakan. Lensa itulah pakaianku. Ada maksud di balik
penggunaan pakaian lensa berwarna itu, yaitu agar cahaya surya tidak
menembusku. Cahaya surya dengan suhu yang cukup tinggi akan membahayakan
hidupku.
Kalender
menunjukkan tanggal 14 Februari 2010. Jam digital menunjukkan pukul 10.00.
Sesosok manusia memasuki ruangan ini. Seperti biasa, berjubah putih dan beralas
kaki tertutup dengan sol karet. Dia tidak mengenakan sarung lateks pada tangannya.
Tidak pula mengenakan penutup hidung yang rata maupun yang menonjol sehingga
moncongnya membuat pemakainya mirip dengan pinokio. Dia membawa semacam kertas
dengan papan serta pensil di tangannya. Satu per satu dilihatnya rak yang ada
di ruangan ini sambil menggoreskan ujung pensilnya ke permukaan kertas. Dia masih
memperhatikan pada rak yang berlabelkan BASA.
“Ada
yang habis, Bu?” Sebuah suara dari luar ruangan. Sebuah kepala manusia lain
menjulur melalui pintu. Manusia ini pun berusaha masuk namun manusia sebelumnya
berusaha menghalanginya.
“Hei,
jangan masuk dengan membawa makanan. Habiskan dulu gula-gula itu di luar.
Apalagi kau tidak memakai peralatan laboratorium sama sekali. Untuk sementara
saya butuh Natrium Hidroksida ukuran 2.5 liter. Saya akan telepon supplier,
nanti siang bisa kamu ambil kan?”
“Siap,
Ibu Bos!”
Tangannya
tampak diangkat di pelipis kanan. Aku pernah melihat gerakan ini. ketika itu
aku berada di ruangan laboran yang memiliki fasilitas berupa kotak berwarna
berisi gambar-gambar yang bergerak. Ya. Mereka menyebutnya televisi. Dari benda
itu aku melihat sekelompok anak berseragam di luar ruangan yang terik sedang
mengangkat tangannya bersama-sama menghadap kain yang diikatkan pada ujung
tiang yang sangat tinggi.
“Ada
lagi?” Dia kembali bertanya setelah menurunkan tangannya.
Manusia
yang dipanggil Ibu Bos ini ternyata sudah berada di depan rak dimana aku
berada. Sebelumnya aku tidak pernah tahu apa nama rakku hingga pada suatu hari
ada sebuah cermin besar yang diletakkan di depan rakku dan aku membacanya,
ASAM. Aku bagian dari rak bernama ASAM. Ibu Bos ini memegang pakaianku sambil
melirik tajam. Apa salahku? Aku merasa dia sedang berusaha menelanjangiku.
Setelah mengangkatku sejenak, dia mengembalikan aku ke tempat semula.
“Derby,
saya ingat ada beberapa sintesis tambahan bulan ini. Saya juga butuh Asam
Sulfat lagi. Jadi saya butuh Natrium Hidroksida dan Asam Sulfat masing-masing
2.5 liter.”
Apa?
Asam Sulfat? Itu kan aku! Sebentar. Apa maksud mereka? Mereka ingin aku lagi?
Tentu saja. Aku. Bukan aku. Saudara kembarku. Ya. Wow. Mereka akan membawa
saudara kembarku kemari. Tentu saja aku senang. Pada saat itu aku sangat
senang. Aku tidak akan kesepian lagi. Selama ini aku tidak punya teman yang
sebanding denganku. Teman-teman yang bersama-sama tinggal dalam rak ASAM
denganku tampaknya enggan terlalu dekat denganku. Ada sebagian yang mengatakan
aku berbahaya. Aku hanya tahu aku akan berbahaya jika aku sudah bertemu dengan
sinar matahari seperti yang sudah kuceritakan tadi. Ada sebagian yang katanya
minder. Katanya kualitasku berbeda. Aku sangat murni. 99.8%. sangat tinggi jika
dibandingkan mereka yang tidak lebih dari 97%. (Belakangan baru aku tahu
kemurnianku inilah yang menyebabkan aku sering disebut Si Pure Analytic atau Si PA). Ada-ada saja. Padahal aku tidak pernah
pilih kasih. Aku mau saja berteman dengan siapa saja. Bahkan dengan rak BASA
yang letaknya di seberangku pun. Ingin rasanya aku berkenalan. Namun entah
mengapa tidak pernah bisa. Tidak ada dalam sejarah laboratorium ini, anggota
rak ASAM dapat berteman dengan anggota rak BASA. Kejanggalan yang baru akan
kuketahui alasannya di akhir cerita ini.
Aku
menunggu kedatangan saudara kembarku dengan tidak sabar. Kalau tidak salah,
manusia yang bernama Derby tadi akan membawanya usai makan siang. Aku tidak
pernah makan siang. Aku hanya tahu kalau jam makan siang artinya saat jam
digital menunjukkan pukul 12.00. Sekarang jam itu bahkan sudah menunjukkan
pukul 21.00. Mengapa saudara kembarku belum datang juga?
Terdengar
suara mobil dan langkah kaki manusia. Pintu ruangan ini pun terbuka.
“Lama
sekali sih?” suara yang kukenal. Ibu
Bos.
“Maaf,
Bu. Tadi macet sekali. Ada Pasar Malam dalam rangka perayaan Valentine di Kemayoran.”
“Ya
sudah. Lengkap kan pesanan saya?”
“Iya,
Bu.”
“Sudah
kamu periksa? Sudah sesuai dengan spesifikasi?”
“Sip,
Bu. Dijamin tidak membuat Ibu kecewa.”
Ibu
Bos memeriksa dengan teliti dua botol kaca gelap di depannya satu per satu.
“Natrium
Hidroksia, oke. Asam sulfat, hmm, juga oke. Bagus. Tolong letakkan ke raknya ya,
Der.”
“Okay.”
Derby
bergerak mengangkat Asam sulfat dan meletakannya di sampingku. Aku tersenyum pada
saudara kembarku ini. Begitu pun dengannya. Betapa ingin kami saling menjabat
tangan. Namun apa daya, kami tidak seperti manusia yang memiliki tangan.
Derby
pun kembali mengangkat Natrium hidroksida. Ketika dia akan meletakannya di rak
BASA, dia baru menyadari bahwa rak itu telah penuh. Sudah terlalu malam untuk
membereskan dan meneliti botol mana yang dapat dibuang atau disatukan dengan
saudara kembarnya sehingga memungkinkan tersedianya ruang untuk Natrium
Hidroksida. Derby menggaruk-garuk kepalanya. Ibu Bos sepertinya membaca
kebingungan anak buahnya itu.
“Sudah,
letakkan saja dulu di rak ASAM. Besok kita atur lagi. Ini sudah malam. Sudah
waktunya istirahat.”
“Baik,
Bu.”
Derby
meletakan Natrium Hidroksida di antara aku. Maksudku di antara aku dan saudara
kembarku. Kini kami berada dalam satu rak. Satu deret. Aku, Natrium hidroksida
dan saudara kembarku. Derby dan Ibu Bos meninggalkan kami. Mematikan lampu yang
menjadi pencahayaan utama ruangan ini.
“Perkenalkan.
Aku Asam Sulfat. Manusia sering menuliskan namaku H2SO4.
Aku adalah asam anorganik yang kuat. Aku larut dalam air. Kebetulan aku asam
pekat dengan tingkat kemurnian tinggi. Di sini aku sering digunakan untuk
sintesis. Oh iya, kau bisa memanggilku Sul.”
Sial.
Mengapa dia dulu yang memperkenalkan diri. Aku lebih lama tinggal di sini. Ya
sudahlah. Toh dia saudara kembarku.
“Senang
bertemu denganmu. Aku Natrium Hidroksida. Kau panggil saja aku Nat.”
“Aku
saudara kembarnya. Aku sudah lebih lama berada di sini. Panggil juga aku Sul.
Kami sama.” Aku pun menyahut.
“Aku
juga senang bertemu denganmu. Sebenarnya di luar sana aku lebih dikenal sebagai
soda kaustik. Para ilmuwan sering menuliskan namaku NaOH. Namun aku kurang
suka, jadi aku lebih suka kalau kalian memanggilku Nat.”
“Nat.
Nama yang bagus.”
Aku
memandangnya. Dia begitu berbeda. Dia putih. Bersinar. Bagiku dia bersinar
walau pada kenyataannya dia bukanlah zat berpendar. Dia bukan seperti aku dan saudara
kembarku yang mengalir begitu saja. Dia tampak lebih padat. Tangan manusia
dapat menggegamnya. Mungkin akan sangat halus sekali. Aku membayangkannya.
Tanpa sadar aku melamun.
Aku
jatuh cinta. Di hari yang disebut manusia sebagai hari Valentine.
“Sul.
Sul, kok kamu diam saja?”
Nat
membuyarkan lamunanku. Padahal aku sedang membayangkan berdansa dengannya.
Berdansa di tengah botol kaca berwarna kuning kecoklatan sehingga kami
terlindung dari matahari. Pesta dansa berdua saja antara aku dan dia. Dansa yang
indah karena dia, Nat, yang seputih salju akan menari-nari di dalamku yang
dapat mengalir sesuka hati. Seperti melihat polkadot salju di dalam air yang
sangat dingin. Sangat indah anganku.
“Sul,
kamu dengar aku?”
“Eh
iya.” Aku tergagap.
“Iya,
Nat. Aku dengar.”
Kami
bertiga terus berbincang-bincang. Membicarakan dari mana asal kami.
Karakteristik kami. Dan segalanya tentang kami.
“Aku
bersifat lembab, Sul. Aku akan dengan mudah menyerap karbon dioksida dari udara
bebas jika aku tidak disimpan dengan benar. Untungnya saat ini segelku masih
rapi. Belum ada yang bisa mengontaminasiku.”
“Kalau
aku sangat mudah larut dalam air. Aku pun tersedia dalam berbagai jenis
kemurnian. Tergantung keperluan penggunanya.”
“Aku
pun demikian. Bahkan aku akan melepaskan panas jika dilarutkan dalam air.”
“Aku
lebih ekstrim lagi. Jangan pernah menambahkan air ke dalamku, haruslah aku yang
ditambahkan ke dalam air. Reaksiku dengan air sangatlah eksotermik.”
“Kau
sungguh berbahaya, Sul.”
“Tidak
sepertimu yang begitu halus, Nat?”
Kami
tertawa dalam bahasa yang kami mengerti. Aku sungguh tertarik pada Nat.
Demikian pula saudara kembarku. Aku tahu dia pun menyukai Nat. Dua Sul menyukai
Nat.
Sul
dan Nat. Kami memiliki banyak kesamaan. Kami adalah korosif. Nat mengatakan aku
berbahaya. Padahal dia pun demikian. Tubuhnya yang halus bagai salju itu
ternyata menyimpan racun-aku menyebutnya demikian-yang akan melukai kulit
manusia yang menyentuhnya dengan tangan kosong. Kami sama-sama kuat.
Sesungguhnya kami adalah sama pekat.
Sul,
saudara kembarku mengajakku berbicara. Di balik Nat. Dengan bahasa kami yang
tidak dimengerti Nat.
“Saudaraku,
aku tahu kau jatuh cinta pada Nat. Namun tahukah dirimu? Aku terlebih dahulu
melihat Nat. Saat kami bersama-sama
dibawa ke sini tadi siang. Aku tidak ingin terjadi pertumpahan darah di antara
kita, sesama asam, asam sulfat yang pekat. Mengalahlah, Saudaraku.”
Apa
maksudnya? Mengalah? Pertumpahan darah macam apa? Aku tidak pernah punya
darah-itu yang aku tahu. Namun aku punya perasaan. Aku memang menginginkan Nat.
Namun yang lebih kuinginkan adalah memiliki saudara. Saudara kembar, yaitu Sul.
“Saudara
kembarku, Sul. Hari ini aku sangat bahagia. Kau tahu mengapa? Saat kudengar Ibu
Bos akan membawamu ke sini. Membawa saudaraku ke sisiku. Tinggal satu rak denganku.
Itulah yang kutunggu selama ini. Tanpa kuketahui akan kedatangan Nat juga. Aku
pun mengakuinya. Aku jatuh cinta saat pertama melihatnya. Melihatnya yang putih
dan berbeda dari kita. Namun jika kau memintaku memilih, aku memilih dirimu,
Sul. Aku memilih saudaraku. Ambilah Nat. Jika itu membuatmu bahagia.”
Sungguh
aku rela. Karena yang kuinginkan hanya saudaraku.
“Terima
kasih, Sul. Terima kasih.” Aku yakin jika kami bertangan tentu kami telah
berjabat tangan.
Aku
membiarkan Sul, saudara kembarku yang kusayangi mengobrol dengan Nat. Aku akan
bahagia melihat mereka bahagia. Mungkin Nat akan menari dalam Sul.
Pagi
menjelang. Ibu Bos masuk dengan tergesa diikuti asistennya yang berjubah putih,
bermoncong pinokio dan bersarung tangan lateks. Diambilnya Nat dan Sul, saudara
kembarku.
“Lakukan
di ruang asam, Nes. Itu semuanya pekat. Kita butuh Natrium Sulfat.”
Orang
yang dipanggil Nes ini mengangguk. Di dalam ruangan tertutup yang berbunyi
bising itu mereka menyatukan Nat dan Sul. Aku memandang mereka. Inikah hari
pernikahan mereka? Bahagianya.
Ah.
Tidak, aku mendengar teriakan mereka. Mereka kesakitan. Tubuh mereka seperti
termutilasi dalam ion masing-masing, dan disatukan secara paksa dengan ion
lain. Bukan pernikahan indah. Bukan perta dansa yang kubayangkan. Kini yang ada
bukan mereka lagi. Nat-BASA dan Sul-ASAM. Perbedaan yang selama ini terlupakan.
Asam dan basa tidak akan pernah bersama. Karena ketika bersama, mereka akan
saling meniadakan. Tiada lagi asam basa. Hanya tinggal air dan garam. Aku
menyesal dan menangis dari balik lensa kuning kecoklatanku.
No comments:
Post a Comment