d sWeetY cHubBy

d sWeetY cHubBy

welcome 2 my bloG....

This blog is my mirror..
It represents my purpose and my passion,
I juz need to share all of my experience, what in my mind, all i want, all I need, and everything about me..
May be it can be my diary,
also my thankful book,
my reminder and my heart alarm,
and many more.


so juZ read it and teLL me what do you thinK about me..............

^-^

Monday, February 20, 2012

[ Lomba Fiksi Fantasy 2012 ] [Sul dan Nat]

(Keyword: Pasar malam, pohon pisang, gula-gula, cerpelai, polkadot)

Ruangan putih. Para manusia berjubah putih itu memanggilnya laboratorium. Laboratorium yang berada di sebuah tempat terpencil dan dikelilingi puluhan pohon pisang. Aku tidak tahu mengapa di tempat ini dibangun laboratorium dengan berbagai peralatan canggih yang konon diimpor dari daerah yang sama dengan asalku. Padahal jika kau tahu, di antara dinding dan bagian punggung peralatan itu hiduplah gerombolan cerpelai yang merasa nyaman dengan suasana ruangan ini. mungkin cerpelai pun rindu dengan modernisasi. Mereka selamanya memakan ular, namun tidak selamanya mereka ingin hidup di antara semak belukar dan sawah yang becek.

Aku melihat dari balik lensa yang gelap berwarna kuning kecoklatan. Itulah lensa yang harus selalu kukenakan. Lensa itulah pakaianku. Ada maksud di balik penggunaan pakaian lensa berwarna itu, yaitu agar cahaya surya tidak menembusku. Cahaya surya dengan suhu yang cukup tinggi akan membahayakan hidupku.

Kalender menunjukkan tanggal 14 Februari 2010. Jam digital menunjukkan pukul 10.00. Sesosok manusia memasuki ruangan ini. Seperti biasa, berjubah putih dan beralas kaki tertutup dengan sol karet. Dia tidak mengenakan sarung lateks pada tangannya. Tidak pula mengenakan penutup hidung yang rata maupun yang menonjol sehingga moncongnya membuat pemakainya mirip dengan pinokio. Dia membawa semacam kertas dengan papan serta pensil di tangannya. Satu per satu dilihatnya rak yang ada di ruangan ini sambil menggoreskan ujung pensilnya ke permukaan kertas. Dia masih memperhatikan pada rak yang berlabelkan BASA.

“Ada yang habis, Bu?” Sebuah suara dari luar ruangan. Sebuah kepala manusia lain menjulur melalui pintu. Manusia ini pun berusaha masuk namun manusia sebelumnya berusaha menghalanginya.
“Hei, jangan masuk dengan membawa makanan. Habiskan dulu gula-gula itu di luar. Apalagi kau tidak memakai peralatan laboratorium sama sekali. Untuk sementara saya butuh Natrium Hidroksida ukuran 2.5 liter. Saya akan telepon supplier, nanti siang bisa kamu ambil kan?”
“Siap, Ibu Bos!”
Tangannya tampak diangkat di pelipis kanan. Aku pernah melihat gerakan ini. ketika itu aku berada di ruangan laboran yang memiliki fasilitas berupa kotak berwarna berisi gambar-gambar yang bergerak. Ya. Mereka menyebutnya televisi. Dari benda itu aku melihat sekelompok anak berseragam di luar ruangan yang terik sedang mengangkat tangannya bersama-sama menghadap kain yang diikatkan pada ujung tiang yang sangat tinggi.
“Ada lagi?” Dia kembali bertanya setelah menurunkan tangannya.
Manusia yang dipanggil Ibu Bos ini ternyata sudah berada di depan rak dimana aku berada. Sebelumnya aku tidak pernah tahu apa nama rakku hingga pada suatu hari ada sebuah cermin besar yang diletakkan di depan rakku dan aku membacanya, ASAM. Aku bagian dari rak bernama ASAM. Ibu Bos ini memegang pakaianku sambil melirik tajam. Apa salahku? Aku merasa dia sedang berusaha menelanjangiku. Setelah mengangkatku sejenak, dia mengembalikan aku ke tempat semula.
“Derby, saya ingat ada beberapa sintesis tambahan bulan ini. Saya juga butuh Asam Sulfat lagi. Jadi saya butuh Natrium Hidroksida dan Asam Sulfat masing-masing 2.5 liter.”

Apa? Asam Sulfat? Itu kan aku! Sebentar. Apa maksud mereka? Mereka ingin aku lagi? Tentu saja. Aku. Bukan aku. Saudara kembarku. Ya. Wow. Mereka akan membawa saudara kembarku kemari. Tentu saja aku senang. Pada saat itu aku sangat senang. Aku tidak akan kesepian lagi. Selama ini aku tidak punya teman yang sebanding denganku. Teman-teman yang bersama-sama tinggal dalam rak ASAM denganku tampaknya enggan terlalu dekat denganku. Ada sebagian yang mengatakan aku berbahaya. Aku hanya tahu aku akan berbahaya jika aku sudah bertemu dengan sinar matahari seperti yang sudah kuceritakan tadi. Ada sebagian yang katanya minder. Katanya kualitasku berbeda. Aku sangat murni. 99.8%. sangat tinggi jika dibandingkan mereka yang tidak lebih dari 97%. (Belakangan baru aku tahu kemurnianku inilah yang menyebabkan aku sering disebut Si Pure Analytic atau Si PA). Ada-ada saja. Padahal aku tidak pernah pilih kasih. Aku mau saja berteman dengan siapa saja. Bahkan dengan rak BASA yang letaknya di seberangku pun. Ingin rasanya aku berkenalan. Namun entah mengapa tidak pernah bisa. Tidak ada dalam sejarah laboratorium ini, anggota rak ASAM dapat berteman dengan anggota rak BASA. Kejanggalan yang baru akan kuketahui alasannya di akhir cerita ini.

Aku menunggu kedatangan saudara kembarku dengan tidak sabar. Kalau tidak salah, manusia yang bernama Derby tadi akan membawanya usai makan siang. Aku tidak pernah makan siang. Aku hanya tahu kalau jam makan siang artinya saat jam digital menunjukkan pukul 12.00. Sekarang jam itu bahkan sudah menunjukkan pukul 21.00. Mengapa saudara kembarku belum datang juga?

Terdengar suara mobil dan langkah kaki manusia. Pintu ruangan ini pun terbuka.
“Lama sekali sih?” suara yang kukenal. Ibu Bos.
“Maaf, Bu. Tadi macet sekali. Ada Pasar Malam dalam rangka  perayaan Valentine di Kemayoran.”
“Ya sudah. Lengkap kan pesanan saya?”
“Iya, Bu.”
“Sudah kamu periksa? Sudah sesuai dengan spesifikasi?”
“Sip, Bu. Dijamin tidak membuat Ibu kecewa.”
Ibu Bos memeriksa dengan teliti dua botol kaca gelap di depannya satu per satu.
“Natrium Hidroksia, oke. Asam sulfat, hmm, juga oke. Bagus. Tolong letakkan ke raknya ya, Der.”
Okay.”

Derby bergerak mengangkat Asam sulfat dan meletakannya di sampingku. Aku tersenyum pada saudara kembarku ini. Begitu pun dengannya. Betapa ingin kami saling menjabat tangan. Namun apa daya, kami tidak seperti manusia yang memiliki tangan.

Derby pun kembali mengangkat Natrium hidroksida. Ketika dia akan meletakannya di rak BASA, dia baru menyadari bahwa rak itu telah penuh. Sudah terlalu malam untuk membereskan dan meneliti botol mana yang dapat dibuang atau disatukan dengan saudara kembarnya sehingga memungkinkan tersedianya ruang untuk Natrium Hidroksida. Derby menggaruk-garuk kepalanya. Ibu Bos sepertinya membaca kebingungan anak buahnya itu.

“Sudah, letakkan saja dulu di rak ASAM. Besok kita atur lagi. Ini sudah malam. Sudah waktunya istirahat.”
“Baik, Bu.”
Derby meletakan Natrium Hidroksida di antara aku. Maksudku di antara aku dan saudara kembarku. Kini kami berada dalam satu rak. Satu deret. Aku, Natrium hidroksida dan saudara kembarku. Derby dan Ibu Bos meninggalkan kami. Mematikan lampu yang menjadi pencahayaan utama ruangan ini.

“Perkenalkan. Aku Asam Sulfat. Manusia sering menuliskan namaku H2SO4. Aku adalah asam anorganik yang kuat. Aku larut dalam air. Kebetulan aku asam pekat dengan tingkat kemurnian tinggi. Di sini aku sering digunakan untuk sintesis. Oh iya, kau bisa memanggilku Sul.”

Sial. Mengapa dia dulu yang memperkenalkan diri. Aku lebih lama tinggal di sini. Ya sudahlah. Toh dia saudara kembarku.

“Senang bertemu denganmu. Aku Natrium Hidroksida. Kau panggil saja aku Nat.”
“Aku saudara kembarnya. Aku sudah lebih lama berada di sini. Panggil juga aku Sul. Kami sama.” Aku pun menyahut.
“Aku juga senang bertemu denganmu. Sebenarnya di luar sana aku lebih dikenal sebagai soda kaustik. Para ilmuwan sering menuliskan namaku NaOH. Namun aku kurang suka, jadi aku lebih suka kalau kalian memanggilku Nat.”
“Nat. Nama yang bagus.”

Aku memandangnya. Dia begitu berbeda. Dia putih. Bersinar. Bagiku dia bersinar walau pada kenyataannya dia bukanlah zat berpendar. Dia bukan seperti aku dan saudara kembarku yang mengalir begitu saja. Dia tampak lebih padat. Tangan manusia dapat menggegamnya. Mungkin akan sangat halus sekali. Aku membayangkannya. Tanpa sadar aku melamun.

Aku jatuh cinta. Di hari yang disebut manusia sebagai hari Valentine.

“Sul. Sul, kok kamu diam saja?”
Nat membuyarkan lamunanku. Padahal aku sedang membayangkan berdansa dengannya. Berdansa di tengah botol kaca berwarna kuning kecoklatan sehingga kami terlindung dari matahari. Pesta dansa berdua saja antara aku dan dia. Dansa yang indah karena dia, Nat, yang seputih salju akan menari-nari di dalamku yang dapat mengalir sesuka hati. Seperti melihat polkadot salju di dalam air yang sangat dingin. Sangat indah anganku.

“Sul, kamu dengar aku?”
“Eh iya.” Aku tergagap.
“Iya, Nat. Aku dengar.”
Kami bertiga terus berbincang-bincang. Membicarakan dari mana asal kami. Karakteristik kami. Dan segalanya tentang kami.

“Aku bersifat lembab, Sul. Aku akan dengan mudah menyerap karbon dioksida dari udara bebas jika aku tidak disimpan dengan benar. Untungnya saat ini segelku masih rapi. Belum ada yang bisa mengontaminasiku.”
“Kalau aku sangat mudah larut dalam air. Aku pun tersedia dalam berbagai jenis kemurnian. Tergantung keperluan penggunanya.”
“Aku pun demikian. Bahkan aku akan melepaskan panas jika dilarutkan dalam air.”
“Aku lebih ekstrim lagi. Jangan pernah menambahkan air ke dalamku, haruslah aku yang ditambahkan ke dalam air. Reaksiku dengan air sangatlah eksotermik.”
“Kau sungguh berbahaya, Sul.”
“Tidak sepertimu yang begitu halus, Nat?”
Kami tertawa dalam bahasa yang kami mengerti. Aku sungguh tertarik pada Nat. Demikian pula saudara kembarku. Aku tahu dia pun menyukai Nat. Dua Sul menyukai Nat.

Sul dan Nat. Kami memiliki banyak kesamaan. Kami adalah korosif. Nat mengatakan aku berbahaya. Padahal dia pun demikian. Tubuhnya yang halus bagai salju itu ternyata menyimpan racun-aku menyebutnya demikian-yang akan melukai kulit manusia yang menyentuhnya dengan tangan kosong. Kami sama-sama kuat. Sesungguhnya kami adalah sama pekat.

Sul, saudara kembarku mengajakku berbicara. Di balik Nat. Dengan bahasa kami yang tidak dimengerti Nat.

“Saudaraku, aku tahu kau jatuh cinta pada Nat. Namun tahukah dirimu? Aku terlebih dahulu melihat  Nat. Saat kami bersama-sama dibawa ke sini tadi siang. Aku tidak ingin terjadi pertumpahan darah di antara kita, sesama asam, asam sulfat yang pekat. Mengalahlah, Saudaraku.”

Apa maksudnya? Mengalah? Pertumpahan darah macam apa? Aku tidak pernah punya darah-itu yang aku tahu. Namun aku punya perasaan. Aku memang menginginkan Nat. Namun yang lebih kuinginkan adalah memiliki saudara. Saudara kembar, yaitu Sul.

“Saudara kembarku, Sul. Hari ini aku sangat bahagia. Kau tahu mengapa? Saat kudengar Ibu Bos akan membawamu ke sini. Membawa saudaraku ke sisiku. Tinggal satu rak denganku. Itulah yang kutunggu selama ini. Tanpa kuketahui akan kedatangan Nat juga. Aku pun mengakuinya. Aku jatuh cinta saat pertama melihatnya. Melihatnya yang putih dan berbeda dari kita. Namun jika kau memintaku memilih, aku memilih dirimu, Sul. Aku memilih saudaraku. Ambilah Nat. Jika itu membuatmu bahagia.”

Sungguh aku rela. Karena yang kuinginkan hanya saudaraku.

“Terima kasih, Sul. Terima kasih.” Aku yakin jika kami bertangan tentu kami telah berjabat tangan.
Aku membiarkan Sul, saudara kembarku yang kusayangi mengobrol dengan Nat. Aku akan bahagia melihat mereka bahagia. Mungkin Nat akan menari dalam Sul.

Pagi menjelang. Ibu Bos masuk dengan tergesa diikuti asistennya yang berjubah putih, bermoncong pinokio dan bersarung tangan lateks. Diambilnya Nat dan Sul, saudara kembarku.

“Lakukan di ruang asam, Nes. Itu semuanya pekat. Kita butuh Natrium Sulfat.”

Orang yang dipanggil Nes ini mengangguk. Di dalam ruangan tertutup yang berbunyi bising itu mereka menyatukan Nat dan Sul. Aku memandang mereka. Inikah hari pernikahan mereka? Bahagianya.

Ah. Tidak, aku mendengar teriakan mereka. Mereka kesakitan. Tubuh mereka seperti termutilasi dalam ion masing-masing, dan disatukan secara paksa dengan ion lain. Bukan pernikahan indah. Bukan perta dansa yang kubayangkan. Kini yang ada bukan mereka lagi. Nat-BASA dan Sul-ASAM. Perbedaan yang selama ini terlupakan. Asam dan basa tidak akan pernah bersama. Karena ketika bersama, mereka akan saling meniadakan. Tiada lagi asam basa. Hanya tinggal air dan garam. Aku menyesal dan menangis dari balik lensa kuning kecoklatanku.

No comments:

Post a Comment