Sore yang indah itu masih membekas dalam
ingatanku. Berkeliling di Desa Bandungrejo Kecamatan Kalinyamatan Kabupaten
Jepara yang masih asri dengan sawah membentang hijau. Menikmati kicauan burung
di jalan bebatuan berliku yang masih perawan karena belum mengenal apa itu
aspal. Memandang langit senja dari tepi sawah. Ditemani sapaan ramah serta
senyum yang tulus dari warga desanya. Kedamaian mana lagi yang dapat menandingi
perasaan ini. Anganku pun melayang kepada Mbah Langit dan matanya yang
memancarkan pelangi nan damai di usianya yang senja. Menularkan kedamaian sang
pelangi dalam langit senja dalam relung hatiku.
***
Aku sedang berada di daerah ini untuk
melaksanakan penelitian atau lebih tepatnya survey untuk tugas akhir. Sebagai
mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, aku tertarik mengambil tema “Hubungan antara
Religi dan Budaya dalam Kehidupan Masyarakat Desa Bandungrejo Jepara”. Desa ini
memiliki banyak keunikan (berdasarkan sumber yang kudapat sebelumnya) dalam hal
religi dan budayanya. Oleh karena itu aku ingin mengetahuinya lebih dalam.
Aku tinggal di rumah Ibu Hani, salah seorang
warga desa yang baik hati dan menawarkan kamar untuk aku tinggal sementara.
Rumah beliau memang tidak seperti rumah modern di kota besar. Cukup sederhana.
Kamar mandi pun jauh berbeda dengan yang ada di rumahku di kota. Di sini tidak
ada pembantu sehingga segala sesuatunya harus kulakukan sendiri. Fasilitas pun
terbatas, tidak ada alat elektronik secanggih yang biasa kutemukan di kota. Tak
apalah. Toh hanya untuk sementara. Begitu pikirku.
Aku akan ikut berbaur dengan kehidupan
masyarakat ini untuk mengetahui bagaimana karakteristik mereka, bagaimana
budaya mereka serta cara mereka menjalani kehidupan religiusnya. Tidak hanya
itu, sebagai balas jasa aku pun ingin menjadikan diriku bermanfaat bagi warga
desa ini selama aku masih berada di sini. Aku akan membuka les untuk anak-anak
sekolah dan mengadakan pelatihan komputer di Balai Desa. Dalam perjalananku
inilah aku mengenal Mbah Langit. Sosok sederhana yang luar biasa. Kukenal dalam
waktu yang singkat namun begitu berkesan.
Secara tidak sengaja aku bertemu dengan Mbah
Langit ketika sedang mengikuti Sholat Maghrib berjamaah di sebuah masjid.
Seorang wanita dalam usianya yang sudah senja, mungkin sekitar 60-70 tahun,
dibalut mukena yang agak nampak sudah berumur juga namun terlihat bahwa beliau
merawatnya dengan baik. Garis keriput di wajahnya menunjukkan keramahan. Senyum
di bibirnya menunjukkan giginya yang sudah tidak lagi berjumlah 36 seperti gigi
orang dewasa. Senyum dan pandangan itu menyatu lembut seperti seorang ibu yang
begitu merindukan anaknya. Melihat wajahku yang asing beliau terlebih dahulu
menyapaku.
“Assalamualaikum, Dik. Saking pundi[1]?”
“Walaikumsalam,
Mbah. Kula Keira, saking Semarang. Nembe KKN ing mriki[2].”
Aku sengaja menyebut diriku mahasiswa KKN
(Kuliah Kerja Nyata)-salah satu mata kuliah yang biasa dilakukan para mahasiswa
di desa-desa-untuk mempermudah Mbah Langit memahami keberadaanku di sini.
Kami bersama-sama keluar dari surau.
Kebetulan rumah beliau searah dengan rumah Ibu Hani. Makan kami pun berjalan
bersama. Sepanjang jalan Mbah Langit tidak henti-hentinya bercerita mengenai
dirinya. Beliau tidak tahu berapa umurnya saat ini karena beliau tidak tahu
kapan tanggal lahirnya. Beliau hanya tahu beliau seumur dengan pohon mangga yang
ada di depan rumahnya. Ayah beliau selalu menanam pohon mangga di kebun
rumahnya setiap ada anak yang lahir. Jadi umur anak-anaknya sama dengan umur
mangga yang ditanam. Mbah Langit adalah seorang pengrajin besek. Besek adalah
semacam keranjang berbentuk segiempat yang biasa digunakan untuk wadah
serbaguna sebelum adanya kardus. Besek terbuat dari anyaman batang bambu yang
telah dipotong tipis-tipis. Beliau hanya tinggal bersama suaminya. Mbah Karso
namanya. Mbah Karso bekerja serabutan. Di usia mereka yang sudah senja,
ternyata mereka masih harus bersusah payah membanting tulang untuk memenuhi
kebutuhan mereka. Anak mereka berjumlah 5 orang. Semuanya sudah berkeluarga dan
tinggal di luar kota. Tidak jauh beda dengan suami istri Mbah Karso dan Mbah
Langit, anak-anaknya pun hidup dengan ekonomi yang pas-pasan. Maklum, kedua
orangtuanya tidak mampu menyekolahkan mereka ke jenjang yang tinggi sehingga
pendidikan mereka pun terbatas pada sekolah dasar, sehingga kehidupan mereka ke
depan pun biasa-biasa saja. Akibatnya, anak-anaknya jarang menemui Mbah Langit
dan Mbah Karso karena keterbatasan biaya.
Aku mendengarkan cerita Mbah Langit sepanjang
jalan. Tanpa terasa mataku terasa panas. Ada sesuatu yang mengaburkan
pandanganku. Cepat-cepat kuusap air mataku agar Mbah Langit tidak melihatnya.
Aku takut beliau tersinggung atau berpikir yang tidak-tidak. Akhirnya beliau
tiba di rumahnya yang hanya berjarak
beberapa rumah dari tempatku tinggal. Aku pun menawarkan untuk membantu beliau
membuat besek dan menjualnya ke pasar keesokan harinya. Beliau pun menerima
tawaranku dengan senang hati. Aku tidak sabar menunggu esok hari.
***
“Maaf Mbah, saya bangun agak kesiangan.”
“Boten
punapa, Cah Ayu[3].”
“Pripun
Mbah? Kula mbok diajari ndamel besek mugi saged ngrewangi Mbah Langit[4].”
“Cah
Ayu mirsani rumiyin[5].”
Aku memperhatikan setiap perlakuan Mbah
Langit terhadap bambu-bambu itu. Kulihat bambu-bambu yang telah dipotong dengan
menggunakan gergaji. Bambu itu dibelah menjadi sekitar 12 bagian. Satu per satu
bambu dipotong secara memanjang dan tipis-tipis untuk selanjutnya dijemur.
Proses menjemur ini memakan waktu paling cepat satu hari agar hasilnya
sempurna. Potongan-potongan inilah yang selanjutnya dianyam. Dalam sehari Mbah
lagit dapat memotong satu batang bambu hingga mempersiapkan potongan
tipis-tipis tersebut hingga menjemurnya. Sembari menjemur Mbah Langit menganyam
bambu yang sudah dikeringkan dari hari sebelumnya. Begitu telaten beliau
melakukannya. Aku pun mencoba membantunya menganyam. Aku tiba-tiba terusik
untuk bertanya.
“Mbah,
sedinten niki dados pinten besek? Mangke dibetha dateng peken pikantuk pinten[6]?”
“Nggih
sak tekane, Cah Ayu. Menawi boten kesel nggih saged ndamel sekawan. Adol teng
peken iso entuk lima ngewu[7].”
Apa? Kataku dalam hati. Lima ribu dalam
sehari? Untuk apa? Dengan pengorbana yang tidak sedikit. Luka-luka akibat
memotong bambu. Penantian menunggu potongan bambu itu kering. Dibayar dengan
lima ribu rupiah?
“Mbah,
nyuwun ngapunten? Niku punapa cekap kangge Mbah Langit lan Mbah Karso? Kangge
dhahar lan kangge kebutuhan liyanipun[8]?”
Mata Mbah Langit kembali memancarkan pelangi
seperti semalam.
Cukup, Nak. Hidup itu tidak perlu neko-neko.
Saya selalu menerima apa yang diberikan Gusti Allah pada saya. Lima ribu rupiah
itu sudah lebih dari cukup. Saya tahu masih banyak orang di luar sana yang
tidak mendapat sepeser pun dalam seharinya. Tidak bisa makan. Untuk hidup harus
mengemis. Saya masih sangat bersyukur dapat bekerja. Bisa menganyam. Besek saya
berguna bagi orang-orang. Dulu bisa menyekolahkan anak-anak saya walaupun cuma
sampai SD. Gusti Allah sudah baik sekali sama saya.
Kurang lebih itulah yang dikatakan Mbah
Langit. Kesederhanaan terpancar di wajah pelanginya. Aku menitikkan air mata.
Dan kali ini aku gagal menyembunyikannya dari Mbah Langit. Mbah Langit ikut
berkaca-kaca melihatku menangis. Tatapan matanya seolah berkata agar aku jangan
ikut menangis. Beban hidupnya mungkin memang berat. Namun sungguh aku sanggup
menanggungnya, Nak. Saya percaya Tuhan tidak akan memberikan cobaan lebih dari
kemampuan manusia. Saya hanya perlu bersyukur.
Ya Tuhan. Orang seperti Mbah Langit ini pun
masih bisa bersyukur di tengah kesusahannya. Sementara aku? Kebiasaan hidup di
kota, berfoya-foya dan menikmati segala kemudahan fasilitas yang disediakan
orang tuaku. Aku masih sering mengeluh. Aku masih tidak bersyukur. Selalu
merasa kurang.
Berbanding terbalik dengan Mbah Langit. Di
usianya yang senja beliau masih bisa memandang dunia ini sebagai pelangi yang
indah. Sebagai sesuatu yang harus selalu disyukuri. Sebagai anugerah Tuhan yang
tak terhingga nilainya.
***
Pertemuan yang singkat beberapa tahun lalu
itu seolah mengingatkanku untuk melihat dunia ini sebagai pelangi. Seperti
pelangi yang kulihat dari pancaran mata Mbah Langit. Ketika aku kembali ke desa
ini untuk menjenguk beliau, kudapat kabar bahwa beliau sudah kembali ke
pangkuan-Nya dalam kedamaian. Ada rasa sesak di dadaku mendengar hal ini. Aku
kecewa tak dapat melihat mata pelanginya lagi. Melihat pelangi tanpa hujan.
Namun aku percaya bahwa beliau sudah bahagia di sana.
Dan pada akhirnya aku mengerti bahwa dunia
ini adalah pelangi. Seindah langit senjanya. Pelangi yang memberikan warna bagi
setiap sisi kehidupan manusia. Pelangi yang hanya dapat dirasakan dengan mata batin
tanpa menunggu usainya hujan. Pelangi yang yang dapat dilihat bila kita mampu
beryukur kepada-Nya. Seperti pelangi di mata Mbah Langit dari Desa Bandungrejo.
***
written for #proyek27
[1] Dari
mana asalnya?
[2]
Walaikumsalam, Mbah. Saya Keira dari Semarang. Sedang KKN di sini.
[3] Tidak
apa-apa, Nak.
[4]
Bagaiaman Mbah? Saya mau diajari cara membuat besek supaya bisa membantu Mbah
Langit.
[5] Lihat
dulu saja ya, Nak.
[6] Mbah,
kalau sehari dapat berapa besek? Kalau dijual di pasar dapat berapa?
[7] Ya
sesampainya saja, nak. Kalau tidak capai bisa dapat empat. Kalau dijual dapat
sekitar lima ribu.
[8] Maaf,
Mbah. Apa lima ribu itu cukup untuk Mbah
Langit dan Mbah Karso? Untuk makan dan kebutuhan lainnya?
No comments:
Post a Comment