d sWeetY cHubBy

d sWeetY cHubBy

welcome 2 my bloG....

This blog is my mirror..
It represents my purpose and my passion,
I juz need to share all of my experience, what in my mind, all i want, all I need, and everything about me..
May be it can be my diary,
also my thankful book,
my reminder and my heart alarm,
and many more.


so juZ read it and teLL me what do you thinK about me..............

^-^

Thursday, February 9, 2012

Pelangi Tanpa Hujan di Langit Senja Bandungrejo


Sore yang indah itu masih membekas dalam ingatanku. Berkeliling di Desa Bandungrejo Kecamatan Kalinyamatan Kabupaten Jepara yang masih asri dengan sawah membentang hijau. Menikmati kicauan burung di jalan bebatuan berliku yang masih perawan karena belum mengenal apa itu aspal. Memandang langit senja dari tepi sawah. Ditemani sapaan ramah serta senyum yang tulus dari warga desanya. Kedamaian mana lagi yang dapat menandingi perasaan ini. Anganku pun melayang kepada Mbah Langit dan matanya yang memancarkan pelangi nan damai di usianya yang senja. Menularkan kedamaian sang pelangi dalam langit senja dalam relung hatiku.
***

Aku sedang berada di daerah ini untuk melaksanakan penelitian atau lebih tepatnya survey untuk tugas akhir. Sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, aku tertarik mengambil tema “Hubungan antara Religi dan Budaya dalam Kehidupan Masyarakat Desa Bandungrejo Jepara”. Desa ini memiliki banyak keunikan (berdasarkan sumber yang kudapat sebelumnya) dalam hal religi dan budayanya. Oleh karena itu aku ingin mengetahuinya lebih dalam.

Aku tinggal di rumah Ibu Hani, salah seorang warga desa yang baik hati dan menawarkan kamar untuk aku tinggal sementara. Rumah beliau memang tidak seperti rumah modern di kota besar. Cukup sederhana. Kamar mandi pun jauh berbeda dengan yang ada di rumahku di kota. Di sini tidak ada pembantu sehingga segala sesuatunya harus kulakukan sendiri. Fasilitas pun terbatas, tidak ada alat elektronik secanggih yang biasa kutemukan di kota. Tak apalah. Toh hanya untuk sementara. Begitu pikirku.

Aku akan ikut berbaur dengan kehidupan masyarakat ini untuk mengetahui bagaimana karakteristik mereka, bagaimana budaya mereka serta cara mereka menjalani kehidupan religiusnya. Tidak hanya itu, sebagai balas jasa aku pun ingin menjadikan diriku bermanfaat bagi warga desa ini selama aku masih berada di sini. Aku akan membuka les untuk anak-anak sekolah dan mengadakan pelatihan komputer di Balai Desa. Dalam perjalananku inilah aku mengenal Mbah Langit. Sosok sederhana yang luar biasa. Kukenal dalam waktu yang singkat namun begitu berkesan.

Secara tidak sengaja aku bertemu dengan Mbah Langit ketika sedang mengikuti Sholat Maghrib berjamaah di sebuah masjid. Seorang wanita dalam usianya yang sudah senja, mungkin sekitar 60-70 tahun, dibalut mukena yang agak nampak sudah berumur juga namun terlihat bahwa beliau merawatnya dengan baik. Garis keriput di wajahnya menunjukkan keramahan. Senyum di bibirnya menunjukkan giginya yang sudah tidak lagi berjumlah 36 seperti gigi orang dewasa. Senyum dan pandangan itu menyatu lembut seperti seorang ibu yang begitu merindukan anaknya. Melihat wajahku yang asing beliau terlebih dahulu menyapaku.

“Assalamualaikum, Dik. Saking pundi[1]?
Walaikumsalam, Mbah. Kula Keira, saking Semarang. Nembe KKN ing mriki[2].”
Aku sengaja menyebut diriku mahasiswa KKN (Kuliah Kerja Nyata)-salah satu mata kuliah yang biasa dilakukan para mahasiswa di desa-desa-untuk mempermudah Mbah Langit memahami keberadaanku di sini.

Kami bersama-sama keluar dari surau. Kebetulan rumah beliau searah dengan rumah Ibu Hani. Makan kami pun berjalan bersama. Sepanjang jalan Mbah Langit tidak henti-hentinya bercerita mengenai dirinya. Beliau tidak tahu berapa umurnya saat ini karena beliau tidak tahu kapan tanggal lahirnya. Beliau hanya tahu beliau seumur dengan pohon mangga yang ada di depan rumahnya. Ayah beliau selalu menanam pohon mangga di kebun rumahnya setiap ada anak yang lahir. Jadi umur anak-anaknya sama dengan umur mangga yang ditanam. Mbah Langit adalah seorang pengrajin besek. Besek adalah semacam keranjang berbentuk segiempat yang biasa digunakan untuk wadah serbaguna sebelum adanya kardus. Besek terbuat dari anyaman batang bambu yang telah dipotong tipis-tipis. Beliau hanya tinggal bersama suaminya. Mbah Karso namanya. Mbah Karso bekerja serabutan. Di usia mereka yang sudah senja, ternyata mereka masih harus bersusah payah membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Anak mereka berjumlah 5 orang. Semuanya sudah berkeluarga dan tinggal di luar kota. Tidak jauh beda dengan suami istri Mbah Karso dan Mbah Langit, anak-anaknya pun hidup dengan ekonomi yang pas-pasan. Maklum, kedua orangtuanya tidak mampu menyekolahkan mereka ke jenjang yang tinggi sehingga pendidikan mereka pun terbatas pada sekolah dasar, sehingga kehidupan mereka ke depan pun biasa-biasa saja. Akibatnya, anak-anaknya jarang menemui Mbah Langit dan Mbah Karso karena keterbatasan biaya.

Aku mendengarkan cerita Mbah Langit sepanjang jalan. Tanpa terasa mataku terasa panas. Ada sesuatu yang mengaburkan pandanganku. Cepat-cepat kuusap air mataku agar Mbah Langit tidak melihatnya. Aku takut beliau tersinggung atau berpikir yang tidak-tidak. Akhirnya beliau tiba di  rumahnya yang hanya berjarak beberapa rumah dari tempatku tinggal. Aku pun menawarkan untuk membantu beliau membuat besek dan menjualnya ke pasar keesokan harinya. Beliau pun menerima tawaranku dengan senang hati. Aku tidak sabar menunggu esok hari.
***
“Maaf Mbah, saya bangun agak kesiangan.”
Boten punapa, Cah Ayu[3].”
Pripun Mbah? Kula mbok diajari ndamel besek mugi saged ngrewangi Mbah Langit[4].”
Cah Ayu mirsani rumiyin[5].”

Aku memperhatikan setiap perlakuan Mbah Langit terhadap bambu-bambu itu. Kulihat bambu-bambu yang telah dipotong dengan menggunakan gergaji. Bambu itu dibelah menjadi sekitar 12 bagian. Satu per satu bambu dipotong secara memanjang dan tipis-tipis untuk selanjutnya dijemur. Proses menjemur ini memakan waktu paling cepat satu hari agar hasilnya sempurna. Potongan-potongan inilah yang selanjutnya dianyam. Dalam sehari Mbah lagit dapat memotong satu batang bambu hingga mempersiapkan potongan tipis-tipis tersebut hingga menjemurnya. Sembari menjemur Mbah Langit menganyam bambu yang sudah dikeringkan dari hari sebelumnya. Begitu telaten beliau melakukannya. Aku pun mencoba membantunya menganyam. Aku tiba-tiba terusik untuk bertanya.
Mbah, sedinten niki dados pinten besek? Mangke dibetha dateng peken pikantuk pinten[6]?”
Nggih sak tekane, Cah Ayu. Menawi boten kesel nggih saged ndamel sekawan. Adol teng peken iso entuk lima ngewu[7].”

Apa? Kataku dalam hati. Lima ribu dalam sehari? Untuk apa? Dengan pengorbana yang tidak sedikit. Luka-luka akibat memotong bambu. Penantian menunggu potongan bambu itu kering. Dibayar dengan lima ribu rupiah?
Mbah, nyuwun ngapunten? Niku punapa cekap kangge Mbah Langit lan Mbah Karso? Kangge dhahar lan kangge kebutuhan liyanipun[8]?”

Mata Mbah Langit kembali memancarkan pelangi seperti semalam.

Cukup, Nak. Hidup itu tidak perlu neko-neko. Saya selalu menerima apa yang diberikan Gusti Allah pada saya. Lima ribu rupiah itu sudah lebih dari cukup. Saya tahu masih banyak orang di luar sana yang tidak mendapat sepeser pun dalam seharinya. Tidak bisa makan. Untuk hidup harus mengemis. Saya masih sangat bersyukur dapat bekerja. Bisa menganyam. Besek saya berguna bagi orang-orang. Dulu bisa menyekolahkan anak-anak saya walaupun cuma sampai SD. Gusti Allah sudah baik sekali sama saya.

Kurang lebih itulah yang dikatakan Mbah Langit. Kesederhanaan terpancar di wajah pelanginya. Aku menitikkan air mata. Dan kali ini aku gagal menyembunyikannya dari Mbah Langit. Mbah Langit ikut berkaca-kaca melihatku menangis. Tatapan matanya seolah berkata agar aku jangan ikut menangis. Beban hidupnya mungkin memang berat. Namun sungguh aku sanggup menanggungnya, Nak. Saya percaya Tuhan tidak akan memberikan cobaan lebih dari kemampuan manusia. Saya hanya perlu bersyukur.

Ya Tuhan. Orang seperti Mbah Langit ini pun masih bisa bersyukur di tengah kesusahannya. Sementara aku? Kebiasaan hidup di kota, berfoya-foya dan menikmati segala kemudahan fasilitas yang disediakan orang tuaku. Aku masih sering mengeluh. Aku masih tidak bersyukur. Selalu merasa kurang.

Berbanding terbalik dengan Mbah Langit. Di usianya yang senja beliau masih bisa memandang dunia ini sebagai pelangi yang indah. Sebagai sesuatu yang harus selalu disyukuri. Sebagai anugerah Tuhan yang tak terhingga nilainya.
***
Pertemuan yang singkat beberapa tahun lalu itu seolah mengingatkanku untuk melihat dunia ini sebagai pelangi. Seperti pelangi yang kulihat dari pancaran mata Mbah Langit. Ketika aku kembali ke desa ini untuk menjenguk beliau, kudapat kabar bahwa beliau sudah kembali ke pangkuan-Nya dalam kedamaian. Ada rasa sesak di dadaku mendengar hal ini. Aku kecewa tak dapat melihat mata pelanginya lagi. Melihat pelangi tanpa hujan. Namun aku percaya bahwa beliau sudah bahagia di sana.

Dan pada akhirnya aku mengerti bahwa dunia ini adalah pelangi. Seindah langit senjanya. Pelangi yang memberikan warna bagi setiap sisi kehidupan manusia. Pelangi yang hanya dapat dirasakan dengan mata batin tanpa menunggu usainya hujan. Pelangi yang yang dapat dilihat bila kita mampu beryukur kepada-Nya. Seperti pelangi di mata Mbah Langit dari Desa Bandungrejo.
***


written for #proyek27

[1] Dari mana asalnya?
[2] Walaikumsalam, Mbah. Saya Keira dari Semarang. Sedang KKN di sini.
[3] Tidak apa-apa, Nak.
[4] Bagaiaman Mbah? Saya mau diajari cara membuat besek supaya bisa membantu Mbah Langit.
[5] Lihat dulu saja ya, Nak.
[6] Mbah, kalau sehari dapat berapa besek? Kalau dijual di pasar dapat berapa?
[7] Ya sesampainya saja, nak. Kalau tidak capai bisa dapat empat. Kalau dijual dapat sekitar lima ribu.
[8] Maaf, Mbah. Apa lima  ribu itu cukup untuk Mbah Langit dan Mbah Karso? Untuk makan dan kebutuhan lainnya?

No comments:

Post a Comment