d sWeetY cHubBy

d sWeetY cHubBy

welcome 2 my bloG....

This blog is my mirror..
It represents my purpose and my passion,
I juz need to share all of my experience, what in my mind, all i want, all I need, and everything about me..
May be it can be my diary,
also my thankful book,
my reminder and my heart alarm,
and many more.


so juZ read it and teLL me what do you thinK about me..............

^-^

Thursday, February 23, 2012

Cinta Itu Meminta Syarat


...
People say I’m crazy and that I’m blind
Risking it all in a glance
And how you got me blind is still a mystery
I can’t get you out of my head
Don’t care what is written  in your history
As long as you’re here with me

I don’t care who you are
Where you’re from
What you did
As long as you love me
...

Aku sedang di kamar menemukan sebuah undangan pernikahan ketika kudengar kembali lagu ini. Fernando Rahadian dan Priscila Anita. Anganku kembali melayang pada masa itu. Masa SMA. Cinta SMA.

***

Semua orang berkata bahwa cinta masa SMA adalah cinta monyet. Cinta main-main. Namun tidak denganku. Aku berpikir sebaliknya. Cintaku di masa SMA adalah cinta sejati. Aku mencintai dengan hati, tanpa memandang latar belakang, materi, dan apa pun yang ada di dalam diri orang yang kucintai. Aku mencintai tanpa alasan. Aku mencintai karena cinta. Tanpa syarat. Love, unconditional.


Aku bertemu dengan dia di suatu sore. Di sebuah lapangan basket di belakang sekolah. Dia  dua tingkat di atasku. Begitu memandangnya aku terpana. Sosok yang tinggi dengan badan yang kekar. Kulit kecoklatan yang yang tampak keemasan diterpa senja matahari. Hidungnya mancung. Matanya penuh semangat, kehangatan namun ramah. Pertama kali aku mengenalnya. Menjabat tangannya yang penuh peluh sehabis bermain basket. Sejak saat itu aku bersumpah aku jatuh cinta. Aku jatuh cinta padanya.

Aku berusaha mendekatinya. Dia pun tak keberatan berdekatan denganku. Aku mulai tahu kebiasaannya, kegemarannya, keluarganya dan semua tentang dia. Aku telah mengenal seluruh keluarganya. Dia pun sering main ke rumahku. Kami sering belajar bersama. Bermain basket di lapangan yang mempertemukan kami. Betapa indah dunia pada masa itu.

Aku menyukainya, Ayah. Pernah aku mengatakan hal ini pada ayahku. Ayah hanya tersenyum sambil membaca korannya. Dia anak yang baik, pintar, rajin, kamu beruntung punya teman seperti dia. Demikian ayahku berkata. Bukan ayah, aku tidak hanya ingin berteman, aku ingin lebih dari itu. Aku berteriak, dalam hati. Aku belum berani berteriak dengan mulutku mengenai keinginanku.

Aku berpindah kepada ibuku. Apakah ibu menyukainya? Aku bertanya dengan hati-hati. Biasanya para ibu memiliki perasaan yang lebih peka mengenai apa yang sedang dirasakan anaknya. Iya, dia anak yang sopan dan sepertinya penurut pada orang tua. Tidak ada alasan untuk tidak menyukainya. Jawaban ibuku ini sungguh membesarkan hatiku. Aku senang sekali. Ayah dan ibuku menyukainya.

Bagaimana perasaanmu padaku? Suatu hari aku bertanya kepadanya. Aku senang berteman denganmu. Dia menjawabnya dengan singkat. Apakah kau menyukaiku? Aku terus bertanya. Tentu, jika aku tidak menyukaimu bagaimana mungkin aku mau berteman denganmu. Dia menjawabnya sambil tersenyum. Betapa aku mengagumi senyum ini.

Sesungguhnya aku ingin berkata. Bukan hanya pertemanan yang kuinginkan. Bukan hanya persahabatan yang kubutuhkan. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu sejak pertama kita bertemu di sore itu. Namun aku tidak berani mengatakannya. Aku takut. Takut pada kenyataan.

Beberapa bulan kemudian. Dia sudah menyelesaikan Ujian Akhir Nasional atau UAN. Dia lulus. Dia mengajakku bertemu. Di sore hari dan di lapangan basket yang sama ketika aku bertemu dengannya pertama kali. Dia mengajakku bertemu. Aku membayangkan dia akan menyatakan perasaannya kepadaku. Kulihat dia duduk di tepi lapangan. Aku mendekatinya. Pandangan mataku cukup untuk menanyakan apa yang terjadi.

“Minggu depan aku berangkat.”
“Ke mana?”
“Ke Amerika.”
“Untuk apa? Liburan? Berapa lama?”
“Ayahku pindah tugas, aku akan melanjutkan kuliah di sana.”
“Tidak akan kembali ke sini?”
“Entahlah, tidak dalam waktu dekat.”

Aku merasakan mataku panas. Ada sesuatu yang ingin mengalir dari mata. Namun aku menahannya sekuat tenaga dengan menggigit bibirku sekeras-kerasnya.

“Nando!” Dari sudut lain lapangan ini ada seorang gadis yang memanggil namanya. Gadis yang beberapa tahun kemudian kuketahui namanya Anita.

Dia melambaikan tangan dan seolah memberi kode bahwa dia akan segera menuju ke sudut itu.

“Aku harus pergi. Mmmm.. Bola basket ini untukmu. Kau pasti akan menjadi kapten basket yang hebat. Senang sekali bisa berteman denganmu.” Katanya sambil menepuk bahuku.
“Teman?”
“Tentu saja, kau lebih dari sekedar teman, kau sahabatku.”
“Hanya itu?”

Dia mengernyitkan kening, namun kemudian tersenyum.
“Kau sudah seperti adikku sendiri. Sukses ya sekolahnya. Jangan lupa untuk terus berlatih.”

Dia tersenyum padaku sambil mengedipkan sebelah matanya  lalu beranjak pergi menuju gadis tadi berdiri dan hilang dari pandanganku bersama bersama sang senja yang mulai ditelan petang. Aku tersentak. Aku menangis. Selama ini aku salah. Dia hanya menganggapku adik. Tidak lebih. Tidak seperti yang kuharapkan.

***

Sejak saat itu aku tidak percaya cinta. Aku tidak percaya cinta tak bersyarat.  Aku, Andrew Wibowo, pernah mencintai Fernando Rahadian, tanpa syarat. Tanpa memandang kesamaan di antara kami. Namun pada akhirnya, cinta itu meminta syarat dan aku tak dapat memenuhinya. Hingga aku memutuskan untuk melupakan cinta.


#cecintaan #love, unconditional

No comments:

Post a Comment