...
People say I’m crazy and that
I’m blind
Risking it all in a glance
And how you got me blind is
still a mystery
I can’t get you out of my head
Don’t care what is written in your history
As long as you’re here with me
I don’t care who you are
Where you’re from
What you did
As long as you love me
...
Aku sedang di kamar menemukan sebuah undangan pernikahan ketika
kudengar kembali lagu ini. Fernando Rahadian dan Priscila Anita. Anganku
kembali melayang pada masa itu. Masa SMA. Cinta SMA.
***
Semua orang berkata bahwa cinta masa SMA adalah cinta monyet. Cinta
main-main. Namun tidak denganku. Aku berpikir sebaliknya. Cintaku di masa SMA
adalah cinta sejati. Aku mencintai dengan hati, tanpa memandang latar belakang,
materi, dan apa pun yang ada di dalam diri orang yang kucintai. Aku mencintai
tanpa alasan. Aku mencintai karena cinta. Tanpa syarat. Love, unconditional.
Aku bertemu dengan dia di suatu sore. Di sebuah lapangan basket di
belakang sekolah. Dia dua tingkat di
atasku. Begitu memandangnya aku terpana. Sosok yang tinggi dengan badan yang
kekar. Kulit kecoklatan yang yang tampak keemasan diterpa senja matahari.
Hidungnya mancung. Matanya penuh semangat, kehangatan namun ramah. Pertama kali
aku mengenalnya. Menjabat tangannya yang penuh peluh sehabis bermain basket.
Sejak saat itu aku bersumpah aku jatuh cinta. Aku jatuh cinta padanya.
Aku berusaha mendekatinya. Dia pun tak keberatan berdekatan denganku.
Aku mulai tahu kebiasaannya, kegemarannya, keluarganya dan semua tentang dia.
Aku telah mengenal seluruh keluarganya. Dia pun sering main ke rumahku. Kami
sering belajar bersama. Bermain basket di lapangan yang mempertemukan kami. Betapa
indah dunia pada masa itu.
Aku menyukainya, Ayah. Pernah aku mengatakan hal ini pada ayahku. Ayah
hanya tersenyum sambil membaca korannya. Dia anak yang baik, pintar, rajin,
kamu beruntung punya teman seperti dia. Demikian ayahku berkata. Bukan ayah,
aku tidak hanya ingin berteman, aku ingin lebih dari itu. Aku berteriak, dalam
hati. Aku belum berani berteriak dengan mulutku mengenai keinginanku.
Aku berpindah kepada ibuku. Apakah ibu menyukainya? Aku bertanya
dengan hati-hati. Biasanya para ibu memiliki perasaan yang lebih peka mengenai
apa yang sedang dirasakan anaknya. Iya, dia anak yang sopan dan sepertinya
penurut pada orang tua. Tidak ada alasan untuk tidak menyukainya. Jawaban ibuku
ini sungguh membesarkan hatiku. Aku senang sekali. Ayah dan ibuku menyukainya.
Bagaimana perasaanmu padaku? Suatu hari aku bertanya kepadanya. Aku
senang berteman denganmu. Dia menjawabnya dengan singkat. Apakah kau
menyukaiku? Aku terus bertanya. Tentu, jika aku tidak menyukaimu bagaimana
mungkin aku mau berteman denganmu. Dia menjawabnya sambil tersenyum. Betapa aku
mengagumi senyum ini.
Sesungguhnya aku ingin berkata. Bukan hanya pertemanan yang
kuinginkan. Bukan hanya persahabatan yang kubutuhkan. Aku mencintaimu. Aku
mencintaimu sejak pertama kita bertemu di sore itu. Namun aku tidak berani
mengatakannya. Aku takut. Takut pada kenyataan.
Beberapa bulan kemudian. Dia sudah menyelesaikan Ujian Akhir Nasional
atau UAN. Dia lulus. Dia mengajakku bertemu. Di sore hari dan di lapangan
basket yang sama ketika aku bertemu dengannya pertama kali. Dia mengajakku
bertemu. Aku membayangkan dia akan menyatakan perasaannya kepadaku. Kulihat dia
duduk di tepi lapangan. Aku mendekatinya. Pandangan mataku cukup untuk
menanyakan apa yang terjadi.
“Minggu depan aku berangkat.”
“Ke mana?”
“Ke Amerika.”
“Untuk apa? Liburan? Berapa lama?”
“Ayahku pindah tugas, aku akan melanjutkan kuliah di sana.”
“Tidak akan kembali ke sini?”
“Entahlah, tidak dalam waktu dekat.”
Aku merasakan mataku panas. Ada sesuatu yang ingin mengalir dari mata.
Namun aku menahannya sekuat tenaga dengan menggigit bibirku sekeras-kerasnya.
“Nando!” Dari sudut lain lapangan ini ada seorang gadis yang memanggil
namanya. Gadis yang beberapa tahun kemudian kuketahui namanya Anita.
Dia melambaikan tangan dan seolah memberi kode bahwa dia akan segera
menuju ke sudut itu.
“Aku harus pergi. Mmmm.. Bola basket ini untukmu. Kau pasti akan
menjadi kapten basket yang hebat. Senang sekali bisa berteman denganmu.”
Katanya sambil menepuk bahuku.
“Teman?”
“Tentu saja, kau lebih dari sekedar teman, kau sahabatku.”
“Hanya itu?”
Dia mengernyitkan kening, namun kemudian tersenyum.
“Kau sudah seperti adikku sendiri. Sukses ya sekolahnya. Jangan lupa
untuk terus berlatih.”
Dia tersenyum padaku sambil mengedipkan sebelah matanya lalu beranjak pergi menuju gadis tadi berdiri
dan hilang dari pandanganku bersama bersama sang senja yang mulai ditelan
petang. Aku tersentak. Aku menangis. Selama ini aku salah. Dia hanya
menganggapku adik. Tidak lebih. Tidak seperti yang kuharapkan.
***
Sejak saat itu aku tidak percaya cinta. Aku tidak percaya cinta tak
bersyarat. Aku, Andrew Wibowo, pernah
mencintai Fernando Rahadian, tanpa syarat. Tanpa memandang kesamaan di antara
kami. Namun pada akhirnya, cinta itu meminta syarat dan aku tak dapat
memenuhinya. Hingga aku memutuskan untuk melupakan cinta.
#cecintaan #love, unconditional
No comments:
Post a Comment