Matahari sudah tinggi saat Keira
baru saja terbangun dari mimpi. Dia bermimpi menghadiri sebuah pesta pernikahan
yang megah. Samar-samar Keira mengenal siapa pengantin pria. Keira melihat pengantin itu sedang dirias di pelaminan.
Dia ingin melihat lebih siapa gerangan
sang pengantin pria. Namun bunyi jam weker terlanjur menariknya pergi. Sejenak
Keira berusaha mengingat apa yang ada dalam mimpinya. Namun pagi ini adalah pagi
yang terburu-buru. Terlalu singkat waktu yang dia miliki untuk mencerna mimpi. Namun
waktu yang cukup untuk mengambil handphone dan mengetik di twitter.
Mimpi yang aneh. Seorang pengantin pria sedang dirias di pelaminannya.
Keira segera melesat ke kamar
mandi sambil. Dalam hitungan tiga puluh menit, Keira dengan pakaian kerja rapi dan
dandanan minimalis sudah berada di stasiun kereta dimana akan ada kereta yang
membawanya ke kantor di kawasan Kuningan Jakarta.
Off to my office. Ready for today.
Tiba di kantor, Keira menuju
kubikalnya. Setumpuk berkas sudah menanti untuk dikerjakan. Menghela nafas
sejenak dan Keira mulai memilah-milah berkas itu. Berkas pekerjaannya. Dan
berkas pekerjaan orang lain, yaitu atasannya.
“Lagi banyak kerjaan, Kei?” Suara
Desta mengagetkanku.
“Iya ni, Des. Limpahan dari
ruangan yang dingin itu.”
“Apa??? Bapak itu lagi? Masih,
Kei? Masih dilimpahkannya pekerjaan-pekerjaan itu? Keterlaluan!”
“Mungkin sudah saatnya aku protes
ya, Des?”
“Kamu harus protes dong, Kei. Ini kan bukan kewajiban kamu ngerjain berkas-berkas ini.” sejenak
Desta mengambil salah satu berkas yang sudah kupilah, “kayak ini misalnya, kamu itu sarjana hukum, masa disuruh ngerjain presentasi
desain, itu kan tugas dia sebagai atasan. Kamu dimanfaatkan sama Pak Bos untuk
mengerjakan semua pekerjaannya. Dia sendiri cuma duduk santai di kursinya yang
empuk itu.”
Nada Desta mulai meninggi,
matanya pun memandang sinis ke arah ruang dingin yang sedang kosong di sudut
sana dan membuat Keira tak enak hati.
Benar apa yang dia katakan. Ini bukan porsiku. Aku harus bertindak.
“Ya udah, Des. Ini yang terakhir aku ngerjain pekerjaan yang bukan
porsiku. Setelah ini selesai aku bakal protes kalau aku dikasih kerjaan yang
seharusnya nggak aku kerjakan.”
“Okay.”
Desta pun pergi meninggalkanku.
Aku terdiam sesaat. Merenungkan
apa yang dikatakan Desta. Apa yang dikatakan Desta benar. Aku berjanji ini
terakhir kalinya aku mengerjakan pekerjaan yang seharusnya tidak kukerjakan.
Hingga beberapa jam yang akan datang aku akan tahu bahwa ini memang yang
terakhir.
Promise that it’s the last time!
***
Keira Renjani. 24 tahun. Sarjana
Hukum. Bekerja di perusahaan kontraktor. Atasannya bernama Pak Aji. Di mata
para klien dan koleganya, Pak Aji adalah orang yang berwibawa. Begitu pun saat
Keira pertama bertemu beliau. Keira hampir jatuh cinta pada wibawa bosnya itu
jika tidak mengingat Pak Aji lebih pantas menjadi ayahnya. Keira begitu
mengagumi Pak Aji, sosok yang dianggapnya begitu bijak dan berjiwa pemimpin.
Hingga suatu hari Keira harus
mengetahui kelakuan beliau di balik sikapnya yang terhormat itu. Awalnya beliau
selalu memberikan Keira pekerjaan yang sesuai dengan kompetensinya. Lalu perlahan
memberi pekerjaan lain yang sama sekali tidak Keira mengerti. Sebagai pegawai
baru Keira merasa tertantang untuk memberikan yang terbaik, Keira terus belajar
sampai Keira bisa karena terbiasa. Keira pikir, melihat kemampuannya ini, maka
Pak Aji sering melimpahkan pekerjaannya kepada Keira. Keira senang mendapat
kepercayaan ini. Namun lama-kelamaan Keira agak terganggu mengingat
pekerjaannya yang terkait dengan bidang hukum justru jadi terbengkalai. Apalagi
dari segi finansial, tidak ada keuntungan yang diterima Keira setelah ia
mengerjakan bertumpuk pelimpahan pekerjaan itu.
“Mungkin Pak Aji ingin aku
belajar, Des.”
“Siapa bilang? Kalau supaya kamu belajar ya nggak terus-terusan dong. Lagipula harus
ada pembagian yang jelas juga, apa kamu dapat fee yang sesuai dengan apa yang kamu kerjakan? Atau sekedar uang
lembur?” Desta, sahabatku yang selalu tidak terima aku dimanfaatkan seenaknya.
Aku menggeleng.
“Nah kan. Aku ini di bagian
keuangan, Kei. Kamu mau tahu berapa nilai proyek yang sedang kamu kerjakan itu?
Milyaran, Kei! Dan berapa yang kamu terima?” Desta menghela nafas sejenak. “Cintanya
pada uang melebihi segala-galanya, Kei. Semua orang di sini tahu itu. Beliau
menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang. Uang itu enak untuk selalu
dicintai, Kei. Bahkan bagi mereka yang sudah tidak kekurangan. Lihat saja
kisah-kisah para koruptor di televisi. Kebanyakan dari mereka sudah memiliki
segalanya. Namun mengapa mereka masih saja korupsi? Karena cintanya pada uang.”
“Maksud kamu Pak Aji korupsi? Jangan bercanda
kamu, Des.” Keira tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Aku pun tidak akan percaya jika
aku tidak mengetahuinya sendiri. Bagaimana beliau mengambil bagian yang
seharusnya menjadi hak para staff pendukung, mengurangi jatah tunjangan hari raya
untuk keperluan pribadinya, merekayasa keuangan kantor, secara licik merebut
proyek orang lain, ah, dan hal-hal lain yang tak pantas kuceritakan.”
Keira hanya tertunduk. Tidak
percaya namun itu nyata. Berpikir sejenak dan akhirnya berkata.
“Aku percaya Tuhan tidak tidur.”
Tuhan tidak tidur.
***
Keira sedang sangat lelah
mengerjakan tumpukan pekerjaan itu. Rasa diperlakukan tidak adil sedang
menghinggapinya. Hingga siang itu ada berita.
“Kei, Pak Aji kecelakaan dan
meninggal di tempat, sambil memeluk tas berisi uang ratusan juta.”
“Bahkan di akhir hayatnya pun
beliau menunjukkan cintanya pada uang. Walaupun entah itu uang siapa.” Seorang yang
lain menyahut.
Antara sadar dan tidak. Angan
Keira melayang pada mimpinya semalam. Seorang pengantin pria yang sedang dirias
di pelaminan. Pengantin itu Pak Aji.
Karena akar dari segala kejahatan adalah cinta uang.
Tuhan tidak tidur.
#cecintaan #cinta manusia pada hal-hal duniawi
No comments:
Post a Comment