I want one moment in time
When I'm more than I thought I could be
When all of my dreams are a heartbeat away
And the answers are all up to me
Give me one moment in time
When I'm racing with destiny
Then in that one moment of time
I will feel
I will feel eternity
When I'm more than I thought I could be
When all of my dreams are a heartbeat away
And the answers are all up to me
Give me one moment in time
When I'm racing with destiny
Then in that one moment of time
I will feel
I will feel eternity
Entah sihir apa yang menyebabkan penyiar radio itu
memutar lagu lama ini. Lagu Whitney Houston yang berjudul One Moment in Time.
Anganku melayang pada kisahku di akhir masa putih abu-abu. Mengingatkanku akan
ambisi masa muda yang menggebu-gebu. Dan mengingatkanku pada dirimu.
Each day I live
I want to be
A day to give
The best of me
I want to be
A day to give
The best of me
Aku harus menjadi yang terbaik. Itulah yang diajarkan
kedua orang tuaku. Aku tumbuh dalam keluarga yang sangat disiplin. Bapakku yang
berpendidikan militer dan ibuku yang bekerja sebagai guru. Pendidikan adalah
nomor satu bagiku. Sejak kecil aku mengikuti berbagai macam kursus, dari kursus
mata pelajaran sampai piano. Memenangi berbagai macam perlombaan baik akademis
maupun kesenian. Aku adalah anak kebanggaan keluarga. Semua yang diminta orang
tuaku akan kuberikan. Dan semua yang kuinginkan pun selalu dikabulkan. Hingga
malam itu kami berbincang-bincang. Bapak, Ibu dan aku.
“Vir, kamu sudah kelas 3 SMU, sudah mau lulus, sebentar
lagi masuk kuliah, kamu mau kuliah dimana?”
“Virga pengennya
sih ke UI, Pak. Virga mau jadi dokter.”
“Hmmm... Bagus, tapi Bapak kok kepingin kamu kuliah di luar negeri ya, Nduk. Seperti anaknya Budhe Win itu lho. Kuliah di Amerika.”
“Apa, Pak? Di luar negeri? Di Amerika? Apa ndak kejauhan to, Pak?”
“Ya ndak usah
sampai Amerika, yang dekat saja. Australia atau Singapura. Kan di sana ada saudara kita juga. Ada yang jaga kamu.”
Aku terdiam. Aku tidak sedang berpikir. Aku sejenak
melamun.
“Piye, Nduk?”
Aku tersentak.
“Eh, kalau Virga pikirkan dulu bagaimana, Pak?”
“Ya sudah dipikirkan dulu. Bapak dan Ibu berharap sekali lho kamu bisa kuliah di luar negeri.
Jaminan masa depannya itu lho, Nduk.
Untuk kebaikanmu juga nanti. Ini brosur-brosur pendidikan luar negeri. Bapak
sudah carikan buat kamu.”
“Iya, Nduk.
Coba dilihat-lihat dulu. Nanti begitu ada yang cocok langsung daftar, biar
Bapak Ibu bantu nanti.”
Aku tertegun melihat Bapak dan Ibu. Ternyata mereka
serius dengan keinginan mereka menyekolahkan aku ke luar negeri. Aku sebenarnya
tidak keberatan. Aku tahu mereka sanggup membiayai aku. Aku pun pernah
bercita-cita untuk melanjutkan sekolah ke luar negeri sejak melihat beberapa
sepupuku melanjutkan sekolah di sana. Namun beberapa bulan terakhir ini aku
melupakan keinginan itu. Ada sesuatu yang menghalangi aku, sesuatu yang membuat
aku tertahan di sini.
***
Sony. Dia teman sekelasku. Aku memanggilnya pacarku,
tepatnya tiga bulan terakhir ini. Aku mengenalnya sejak kami kelas 1 SMU. Aku
menyukainya sejak pertama kali melihatnya. Namun aku tak pernah percaya bahwa
dia juga memendam perasaan yang sama selama dua tahun persahabatan kami.
Sahabat jadi cinta. Itulah aku dan Sony.
“Son, ada yang aku bicarakan.”
“Apa, Non?”
Sony selalu memanggilku Non. Aku tidak pernah bertanya
itu Nona, atau Nonik, atau apapun. Aku tidak peduli. Aku suka dia memanggilku
begitu.
“Son, Bapak mau aku melanjutkan sekolah ke luar negeri.”
“Luar negeri mana? Timor Leste?”
“Ih, serius, Son! Bapak mau aku kuliah di Australia atau
di Singapura.”
Sony terdiam. Namun dia tersenyum.
“Bagus dong, Non. Kamu itu pintar, sayang kalau kuliah di
sini-sini aja. Pasti masa depanmu cerah.” Sony berkata sambil mengacak-acak
rambutku.
“Kamu nggak
keberatan?”
“Kenapa keberatan, Non Virga Sayang? Ini kan demi masa depan kamu.”
“Kamu nggak
takut kehilangan aku?”
Sony menggeleng.
“Kamu bisa kita jauh-jauhan?”
Sony berpikir sejenak lalu mengangguk.
“Kamu!!!” Aku tiba-tiba saja berdiri dan marah.
“Kenapa, Non?”
“Kamu nggak
peduli lagi sama kita? Kamu nggak peduli
sama hubungan kita? Kalau aku pindah ke luar negeri gimana dengan kita?
Ternyata bener ya, kita memang cuma cinta-cintaan. Cinta monyet. Kamu juga nggak pernah serius.” Mataku memerah dan
terasa panas.
“Fine. Kita udahan aja. Toh sebentar lagi aku akan
pindah ke luar negeri. Kamu pun nggak
masalah kehilangan aku. Senang pernah kenal sama kamu, Son.”
Aku pergi meninggalkan Sony dengan air mata yang sudah
tidak terbendung. Tanpa kutahu bahwa Sony pun sedang menahan agar air matanya
tidak terjatuh. Beberapa tahun kemudian barulah aku tahu ada yang belum sempat
dia sampaikan pada hari terakhir pertemuanku dengannya itu. One moment in time with you that broke my
heart.
I broke my heart
Fought every gain
To taste the sweet
I face the pain
I rise and fall
Yet through it all
This much remains
Fought every gain
To taste the sweet
I face the pain
I rise and fall
Yet through it all
This much remains
Pesawat ini pun membawaku pergi dari Indonesia. Dari
keluargaku. Dan dari Sony. Mengejar impianku. Berusaha melupakan rasa sakit
dari hari perpisahan itu.
***
Aku kembali lagi ke Indonesia setelah menyelesaikan
program sarjana dan masterku di Singapura. Aku memutuskan untuk kembali ke
Tanah Air dan membangun negeri ini dengan ilmu yang kumiliki. Selain itu,
umurku yang sudah mapan pun memaksa Ibuku menyuruhku pulang karena beliau tidak
ingin memiliki menantu berwajah oriental, begitu katanya. Aku hanya tersenyum
kecil. Aku memang sempat menjalin hubungan dengan beberapa orang asing, namun
itu hanya sekedar intermezzo di
tengah kepadatan kuliahku saja. Kini kutinggalkan negeri Singa itu dan kembali
ke pangkuan Ibu Pertiwi untuk mengabdi, dan mencari jodoh di sini. Tidak. Aku
tidak berniat mencari. Sebab sesungguhnya hatiku masih tertinggal di sini. Nama
itu masih tersimpan di hatiku. Enam tahun bukan waktu yang cukup untuk
melupakannya. Sony.
I’m only one
But not alone
My finest day
Is yet unknown
***
Aku tidak percaya. Aku kembali dengannya. Ya. Sony. Dia
kembali. Bukan. Aku yang kembali. Atau kami masing-masing kembali.
Mengembalikan hati yang telah kami titipkan satu sama lain. Terjaga utuh selama
enam tahun. Dengan pertemuan yang tidak kuduga dalam acara reuni akbar SMA.
Berlanjut dengan bertukar nomor ponsel. Pertemuan-pertemuan di kafe yang
romantis. Hingga dia melamarku di tempat di mana aku meninggalkannya beberapa
tahun yang lalu. Saat itu pulalah aku tahu bahwa pada hari itu, beberapa tahun
yang lalu, ada yang belum sempat dia sampaikan pada hari terakhir pertemuanku
dengannya itu.
“Hari ini aku ingin mengatakan yang seharusnya enam tahun
lalu kukatakan. Aku memang tidak keberatan kamu melanjutkan sekolah ke luar
negeri, karena itulah yang terbaik untukmu, untuk masa depanmu. Aku tidak takut
kehilangan kamu, karena aku tahu kamu memang hatimu tidak akan pernah
meninggalkanku. Dan aku tidak takut berjauhan denganmu karena seberapa pun
jarak antara kita, aku percaya akan kekuatan cinta kita.”
Aku hanya bisa memeluknya sambil menangis haru. One moment in time with you.
You're a winner for a lifetime
If you seize that one moment in time
Make it shine
If you seize that one moment in time
Make it shine
***
Ini adalah hari pernikahanku. Saat kudengar lagu Whitney
Houston ini dari radio di ruang rias pengantin. Lagu ini pula yang akan
mengiringiku berjalan menuju pelaminan bersamanya. One moment in time with you is always a beautiful moment.
Give me one moment in time
When I'm more than I thought I could be
When all of my dreams are a heartbeat away
And the answers are all up to me
Give me one moment in time
When I'm racing with destiny
Then in that one moment of time
I will be
I will be
I will be free
I will be
I will be free
***
#tributetoWhitneyHouston
No comments:
Post a Comment