d sWeetY cHubBy

d sWeetY cHubBy

welcome 2 my bloG....

This blog is my mirror..
It represents my purpose and my passion,
I juz need to share all of my experience, what in my mind, all i want, all I need, and everything about me..
May be it can be my diary,
also my thankful book,
my reminder and my heart alarm,
and many more.


so juZ read it and teLL me what do you thinK about me..............

^-^

Sunday, February 19, 2012

One Moment In Time With You

I want one moment in time
When I'm more than I thought I could be
When all of my dreams are a heartbeat away
And the answers are all up to me
Give me one moment in time
When I'm racing with destiny
Then in that one moment of time
I will feel
I will feel eternity

Entah sihir apa yang menyebabkan penyiar radio itu memutar lagu lama ini. Lagu Whitney Houston yang berjudul One Moment in Time. Anganku melayang pada kisahku di akhir masa putih abu-abu. Mengingatkanku akan ambisi masa muda yang menggebu-gebu. Dan mengingatkanku pada dirimu.
***


Each day I live
I want to be
A day to give
The best of me

Aku harus menjadi yang terbaik. Itulah yang diajarkan kedua orang tuaku. Aku tumbuh dalam keluarga yang sangat disiplin. Bapakku yang berpendidikan militer dan ibuku yang bekerja sebagai guru. Pendidikan adalah nomor satu bagiku. Sejak kecil aku mengikuti berbagai macam kursus, dari kursus mata pelajaran sampai piano. Memenangi berbagai macam perlombaan baik akademis maupun kesenian. Aku adalah anak kebanggaan keluarga. Semua yang diminta orang tuaku akan kuberikan. Dan semua yang kuinginkan pun selalu dikabulkan. Hingga malam itu kami berbincang-bincang. Bapak, Ibu dan aku.
“Vir, kamu sudah kelas 3 SMU, sudah mau lulus, sebentar lagi masuk kuliah, kamu mau kuliah dimana?”
“Virga pengennya sih ke UI, Pak. Virga mau jadi dokter.”
“Hmmm... Bagus, tapi Bapak kok kepingin kamu kuliah di luar negeri ya, Nduk. Seperti anaknya Budhe Win itu lho. Kuliah di Amerika.”
“Apa, Pak? Di luar negeri? Di Amerika? Apa ndak kejauhan to, Pak?”
“Ya ndak usah sampai Amerika, yang dekat saja. Australia atau Singapura. Kan di sana ada saudara kita juga. Ada yang jaga kamu.”
Aku terdiam. Aku tidak sedang berpikir. Aku sejenak melamun.
Piye, Nduk?”
Aku tersentak.
“Eh, kalau Virga pikirkan dulu bagaimana, Pak?”
“Ya sudah dipikirkan dulu. Bapak dan Ibu berharap sekali lho kamu bisa kuliah di luar negeri. Jaminan masa depannya itu lho, Nduk. Untuk kebaikanmu juga nanti. Ini brosur-brosur pendidikan luar negeri. Bapak sudah carikan buat kamu.”
“Iya, Nduk. Coba dilihat-lihat dulu. Nanti begitu ada yang cocok langsung daftar, biar Bapak Ibu bantu nanti.”
Aku tertegun melihat Bapak dan Ibu. Ternyata mereka serius dengan keinginan mereka menyekolahkan aku ke luar negeri. Aku sebenarnya tidak keberatan. Aku tahu mereka sanggup membiayai aku. Aku pun pernah bercita-cita untuk melanjutkan sekolah ke luar negeri sejak melihat beberapa sepupuku melanjutkan sekolah di sana. Namun beberapa bulan terakhir ini aku melupakan keinginan itu. Ada sesuatu yang menghalangi aku, sesuatu yang membuat aku tertahan di sini.
***
Sony. Dia teman sekelasku. Aku memanggilnya pacarku, tepatnya tiga bulan terakhir ini. Aku mengenalnya sejak kami kelas 1 SMU. Aku menyukainya sejak pertama kali melihatnya. Namun aku tak pernah percaya bahwa dia juga memendam perasaan yang sama selama dua tahun persahabatan kami. Sahabat jadi cinta. Itulah aku dan Sony.
“Son, ada yang aku bicarakan.”
“Apa, Non?”
Sony selalu memanggilku Non. Aku tidak pernah bertanya itu Nona, atau Nonik, atau apapun. Aku tidak peduli. Aku suka dia memanggilku begitu.
“Son, Bapak mau aku melanjutkan sekolah ke luar negeri.”
“Luar negeri mana? Timor Leste?”
“Ih, serius, Son! Bapak mau aku kuliah di Australia atau di Singapura.”
Sony terdiam. Namun dia tersenyum.
“Bagus dong, Non. Kamu itu pintar, sayang kalau kuliah di sini-sini aja. Pasti masa depanmu cerah.” Sony berkata sambil mengacak-acak rambutku.
“Kamu nggak keberatan?”
“Kenapa keberatan, Non Virga Sayang? Ini kan demi masa depan kamu.”
“Kamu nggak takut kehilangan aku?”
Sony menggeleng.
“Kamu bisa kita jauh-jauhan?”
Sony berpikir sejenak lalu mengangguk.
“Kamu!!!” Aku tiba-tiba saja berdiri dan marah.
“Kenapa, Non?”
“Kamu nggak peduli lagi sama kita? Kamu nggak peduli sama hubungan kita? Kalau aku pindah ke luar negeri gimana dengan kita? Ternyata bener ya, kita memang cuma cinta-cintaan. Cinta monyet. Kamu juga nggak pernah serius.” Mataku memerah dan terasa panas.
Fine. Kita udahan aja. Toh sebentar lagi aku akan pindah ke luar negeri. Kamu pun nggak masalah kehilangan aku. Senang pernah kenal sama kamu, Son.”
Aku pergi meninggalkan Sony dengan air mata yang sudah tidak terbendung. Tanpa kutahu bahwa Sony pun sedang menahan agar air matanya tidak terjatuh. Beberapa tahun kemudian barulah aku tahu ada yang belum sempat dia sampaikan pada hari terakhir pertemuanku dengannya itu. One moment in time with you that broke my heart.

I broke my heart
Fought every gain
To taste the sweet
I face the pain
I rise and fall
Yet through it all
This much remains

Pesawat ini pun membawaku pergi dari Indonesia. Dari keluargaku. Dan dari Sony. Mengejar impianku. Berusaha melupakan rasa sakit dari hari perpisahan itu.
***
Aku kembali lagi ke Indonesia setelah menyelesaikan program sarjana dan masterku di Singapura. Aku memutuskan untuk kembali ke Tanah Air dan membangun negeri ini dengan ilmu yang kumiliki. Selain itu, umurku yang sudah mapan pun memaksa Ibuku menyuruhku pulang karena beliau tidak ingin memiliki menantu berwajah oriental, begitu katanya. Aku hanya tersenyum kecil. Aku memang sempat menjalin hubungan dengan beberapa orang asing, namun itu hanya sekedar intermezzo di tengah kepadatan kuliahku saja. Kini kutinggalkan negeri Singa itu dan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi untuk mengabdi, dan mencari jodoh di sini. Tidak. Aku tidak berniat mencari. Sebab sesungguhnya hatiku masih tertinggal di sini. Nama itu masih tersimpan di hatiku. Enam tahun bukan waktu yang cukup untuk melupakannya. Sony.

I’m only one
But not alone
My finest day
Is yet unknown
***
Aku tidak percaya. Aku kembali dengannya. Ya. Sony. Dia kembali. Bukan. Aku yang kembali. Atau kami masing-masing kembali. Mengembalikan hati yang telah kami titipkan satu sama lain. Terjaga utuh selama enam tahun. Dengan pertemuan yang tidak kuduga dalam acara reuni akbar SMA. Berlanjut dengan bertukar nomor ponsel. Pertemuan-pertemuan di kafe yang romantis. Hingga dia melamarku di tempat di mana aku meninggalkannya beberapa tahun yang lalu. Saat itu pulalah aku tahu bahwa pada hari itu, beberapa tahun yang lalu, ada yang belum sempat dia sampaikan pada hari terakhir pertemuanku dengannya itu.
“Hari ini aku ingin mengatakan yang seharusnya enam tahun lalu kukatakan. Aku memang tidak keberatan kamu melanjutkan sekolah ke luar negeri, karena itulah yang terbaik untukmu, untuk masa depanmu. Aku tidak takut kehilangan kamu, karena aku tahu kamu memang hatimu tidak akan pernah meninggalkanku. Dan aku tidak takut berjauhan denganmu karena seberapa pun jarak antara kita, aku percaya akan kekuatan cinta kita.”
Aku hanya bisa memeluknya sambil menangis haru. One moment in time with you.

You're a winner for a lifetime
If you seize that one moment in time
Make it shine
***
Ini adalah hari pernikahanku. Saat kudengar lagu Whitney Houston ini dari radio di ruang rias pengantin. Lagu ini pula yang akan mengiringiku berjalan menuju pelaminan bersamanya. One moment in time with you is always a beautiful moment.

Give me one moment in time
When I'm more than I thought I could be
When all of my dreams are a heartbeat away
And the answers are all up to me
Give me one moment in time
When I'm racing with destiny
Then in that one moment of time
I will be
I will be
I will be free
I will be
I will be free
***

#tributetoWhitneyHouston


No comments:

Post a Comment